Senin, 10 Desember 2018

Makalah Fiqih Mawarris Dzawil Arham


MAKALAH
DZAWIL ARHAM
Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Fiqh Mawaris
Dosen Pengampu: A. Turmudzi, S.H.,M.Ag.

Dzawil Arham
 








FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014


I.     PENDAHULUAN
Perkataan bahasa Arab arham bentuk jamak rahm bearti rahim atau kandungan secara harfiah; jika tegasnya ialah hubungan darah. Secara istilah syari’ah ialah hukum kerabat yang lain daripada dzu-faraid dan ‘ashabah,yaitu anggota keluarga perempuan digaris bapak dan anggota keluarga digaris ibu, lelaki maupun perempuan. Kesimpulannya,dzu-arham merupakan semua anggota keluarga digaris ibu, baik lelaki maupun perempuan dan semua anggota keluarga perempuan digaris bapak kecuali empat perempuan yang ditentukan bagiannya didalam Al-Qur’an:anak perempuan,anak perempuan dari anak lelaki , saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak.[1]
Sekarang siapakah hubungan darah yang bukan ahli waris al-Qur’an dan bukan pula ahli waris di garis bapak?tentu saja anggota keluarga perempuan digaris bapak dan anggota keluarga digars ibu, baik lelaki maupun perempuan. Al-Qur’an menyebutkan sejumlah anggota keluarga dan memberikan hak bagian  (sahm, farida) kepada masing-masing mereka ini; mereka ini merupakan kelas pertama, terdiri dari suami istri dan para anggota keluarga dekat lainnya, kebanyakan perempuan. Dalam kelas kedua kita dapati semua ahli waris kesukuan, yaitu ‘ashabah, kedua prinsip hukum pra Islam yang masih bertahan  adalah (I) bahwa semua mereka ini adalah kaum lelaki dan (II) bahwa semua mereka digaris bapak. Sesudah memberikan perincian ini,maka ada yang belum disebutkan, yaitu anggota keluarga perempuan digaris bapak dan digaris ibu, baik lelaki maupun perempuan.[2]
II.      RUMUSAN MASALAH
  1. Apa pengertian dari Dzawil Arham?
  2. Siapa saja yang termasuk Dzawil Arham?
  3. Bagaimana tentang jalur  dan Faedah Dzawil Arham?
  4. Bagaimana keadaan Dzawil Arham?
  5.  Apa perbedaan pendapat tentang Dzawil Arham?

III.   PEMBAHASAN
A.                          Pengertian Dzawil Arham
Dzawil Arham menurut pengertian bahasa adalah:[3]
  1. Tempat menetap janin didalam perut ibunya.
  2. Setiap orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang lain.
Sedangkan dalam hukum Islam para Ulama mendefinisikan Dzawil Arham yaitu: ahli waris yang mempunyai hubungan nasab dengan orang yang meninggal dunia, selain ‘ashabah  furudl dan ‘ashabah. Dapat dikatakan bahwa dzawil arham adalah orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan sipewaris melalui garis ibu atau wanita.[4]Dengan demikian,Dzawil Arham ini tidak ada bagian mereka, yang tertentu didalam Al-Qur’an maupun dalam Hadits (Dzawil Furudl), serta tidak termasuk orang yang mendapat sisa (‘ashabah).[5]
B.                               Golongan Dzawil Arham
Orang-orang yang termasuk Zawil Arham ialah:[6]
1.      Anak (laki-laki/perempuan) dari anak perempuan.
2.      Ayah dari ibu.
3.      Ibu dari ayahnya ibu.
4.      Anak (laki-laki/perempuan) dari saudara perempuan.
5.      Anak perempuan dari saudara laki-laki.
6.      Anak (laki-laki/perempuan) dari saudara seibu.
7.      Paman ( saudara laki-laki dari ayah) seibu.
8.      Saudara perempuan dari ayah.
9.      Anak perempuan dari paman.
10.  Saudara laki-laki dari ibu.
11.  Saudara perempuan dari ibu.
Keseluruhan dari dzawil arham ini dapat dikelompok kedalam 4 kelompok, yaitu:
1.      Kelompok keturunan yaitu:
a.       Anak (laki-laki/perempuan) dari anak perempuan dan seterusnya kebawah.
b.      Anak (laki-laki/perempuan) dari cucu perempuan dan seterusnya kebawah.
2.      Kelompok orang yang menurunkan:
a.       Ayah dari ibu dan ayah dari ayah ibu dan seterusnya keatas.
b.      Ibu dari ayah ibu dan ibu dari ibu ayah ibu dan seterusnya keatas.
3.      Kelompok anak dari keturunan saudara:[7]
a.       Anak (laki-laki/perempuan) dari saudara perempuan, baik sekandung seayah atau seibu, serta keturunannya kebawah.
b.      Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung, seibu atau seayah dan seterusnya ke bawah.
c.       Anak perempuan dari anak laki-laki saudara  laki-laki kandung seayah atau seibu dan seterusnya ke bawah.
d.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, dan seterusnya ke bawah.
4.      Kelompok anak keturunan kakek dan nenek:[8]
a.       Paman (saudara laki-laki dari ayah).
b.      Saudara perempuan dari ayah baik kandung, seayah atau seibu dan seterusnya ke bawah.
c.       Anak perempuan dari paman baik sekandung, seayah atau seibu dan seterusnya ke bawah.
d.      Saudara perempuan dari ibu baik sekandung, seayah atau seibu dan seterusnya ke bawah.

C.                           Beberapa jalur dan Faedah Dzawil Arham
Karena kerabat ahli waris ada tiga; ashlu, furu’, dan hawasyi, maka menurut pendapat yang masyhur dan pengikut-pengikut madzhab imam Ahmad ialah membagi dzawil arham kepada tiga kelompok: dzawil arham ubuwwah, umuumah dan bunuwwah.[9]
Adapun Ubuwwah adalah semua kakek, nenek dan hawasyi yang tidak mendapat bagian fardh dan ‘ashabah yang dihubungkan melalui jalur ayah. Seperti ayah nenek dari pihak ayah, bibi-bibi dari pihak ayah, paman seibu dari pihak ayah, puteri-puteri saudara laki-laki yang bukan seibu, putera-putera saudara perempuan yang bukan seibu, anak-anak perempuan paman dari pihak ayah dan siapa saja yang dihubungkan melalui jalur salah seorang dari mereka.[10]
Umuumah adalah semua kakek, nenek dan hawasyi yang tidak mendapat bagian fardh dan ‘ashabah yang dihubungkan melaluijalur ibu. Seperti ayah dari ibu, paman-paman dari pihak ibu, bibi-bibi dari pihak ibudari pihak ibu anak-anak saudara laki-laki seibu dan siapa saja yang dihubungkan melalui jalur salah seorang dari mereka.[11]
Bunuwwah adalah semua furu’ yang tidak mendapat bagian fardh dan ‘ashabah. Mereka adalah yang garis nasabnya dengan si mayit diperantarai oleh perempuan. Seperti cucu laki-laki dari anak perempuan, anak laki-laki cucu perempuan dari anak laki-laki dan orang-orang yang mereka hubungkan.[12]
Apabila di dalam satu jalur terdapat dua orang atau lebih, maka kelompok yang paling dekat sampai ke mayit akan menghalangi kelompok lainnya.
Jika keduanya berada dalam dua jalur, maka kita menghubungkan masing-masing dari keduanya dengan ahli waris yang menghubungkannya dengan mayit, walaupun tingkatannya jauh. Kemudian kita membagi harta diantara ahli waris penghubung, apa yang menjadi hak ahli waris penghubung itulah yang menjadi hak dzawil arham yang merupakan ahli waris terhubung.
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris cucu perempuan dari anak perempuan, cicit perempuan dari cucu perempuan dari anak perempuan dan cicit perempuan dari cucu perempuan dari putri paman dari pihak ayah, maka cucu perempuan mendapat ½ karena ia menempati posisi ibunya (putri si mayit) dan selebihnya diberikan kepada cicit paman, karena ia menempati posisi paman, sementara cicit si mayit tidak mendapat apa-apa, sebab cucu perempuan lebih dekat ke mayit dari pada cicit sehingga cucu menghijab/ menggugurkan cicit karena berada dalam satu jalur. Cucu perempuan tidak menggugurkan cicit paman karena jalurnya berbeda.
Jika seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris cucu perempuan dari putri saudara kandung laki-laki dan putri paman kandung dari piha ayah, maka semua harta diberikan kepada putri paman, karena mereka berada pada jalur yang sama dan putri paman adalah dzawil arhaam yang terdekat.[13]
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris puteri anak perempuan (cucu perempuan dari anak perempuan), puteri paman dari pihak ibu dan cucu perempuan dari puteri bibi dari phak ayah. Yang paling dekat dengan ahli waris adalah puteri anak perempuan, lalu puteri paman  dari pihak ibu. Karena jalur mereka berbeda, maka yang dekat tidak dapat menggugurkan yang lebih jauh. Artinya kita berikan bagian mereka masing-masing menurut ahli waris yang menghubungkan mereka. Dengan demikian puteri anak perempuan mendapat 1/2 , karena ia menempati posisi ibunya. Puteri paman mendapat 1/6, karena ia menempati posisi ibu, dan cucu perempuan bibi(dari pihak ayah) mendapat bagian fardh 1/6 dan ‘ashabah, karena ia menempati posisi ayah.
Beberapa Faedah
Faedah pertama: telah disinggung bahwa dzawil arham tidak akan mendapat warisan kecuali jika ahli waris yang mendapat fardh dan ‘ashabah tidak ada. Jika ternyata ahli waris si mayit masih ada, baik yang mendapat bagian fardh maupun ‘ashabah, maka harta tersebut dibagikan kepada ahli waris tersebut sehingga dzawil arham tidak mendapat apa-apa.[14]
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris paman yang bukan seibu (paman kandung atau seayah) dan bibi dari pihak ayah, maka harta tersebut diberikan kepada paman sebagai bagian ‘ashabah, sementara bibi tidak mendapat apa-apa.
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris saudara laki-laki seibu dan bibi dari pihak ibu, maka harta diberikan kepada saudara laki-laki seibu sebagai bagian fardh dan radd. Sementara bibi tidak mendapat apa-apa.
Apabila yang ada adalah ahli waris yang tidak mendapat bagian radd, seperti suami dan istri, maka dzawil arham tidak terhalang untuk mendapatkan sisa harta, setelah bagian suami dan istri dikeluarkan dengan sempurna.
Jika seorang wanita meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris suami dan cucu perempuan dari anak perempuan, maka suami mendapat ½ dan cucu mendapat ½.
Jika seorang suami meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris istri dan cucu perempuan dari anak perempuan, maka istri mendapat ¼, cucu mendapat ½ sebagai bagian fard dan sisinya diberikan kepadanya sebagai bagian radd.[15]
Faedah kedua: Telah disinggung bahwa dalam dzawil arham bagian laki-laki sama dengan bagian perempuan.
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris anak laki-laki dan perempuan dari saudara kandung perempuan, anak laki-laki dan perempuan dari saudara perempuan seibu dan puteri paman kandung dari pihak ayah, maka anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara kandung perempuan mendapat ½, menurut madzhab Imam Ahmad dibagi sama dan menurut riwayat kedua, bagian perempuan ½ bagian laki-laki, dan untuk anak laki-laki dan perempuan dari saudara perempuan seibu 1/6 dan selebihnya diberikan kepada puteri paman kandung.[16]
Faedah ketiga: Pendapat yang masyhur dalam madhab Hambali bahwa apabila dzawil arham memiliki dua jalur yang menghubungkannya kepada si mayit maka yang diambil adalah yang paling kuat.
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris bibi dari pihak ayah, puteri saudara kandung laki-laki. Menurut madhab Hambali, semua harta diberikan kepada bibi karena posisinya seperti ayah. Sementara puteri saudara kandung laki-laki menempati posisi saudara kandung laki-laki. [17]
Faedah keempat: Faedah mengetahui seseorang memiliki jalur bunuwwah, umuumah, dan ubuwwah bukan untuk menetapkas yang  bahwa dzawl arham akan mengambil warisan bagian ayah, ibu atau anak. Sebab dia hanya mengambil bagian ahli waris yang dekat hubungannya dan menjadi perantaranya. Untuk mengetahui yang mengijab dan yang terhijab, apabila keduanya berada dalam satu jalur maka yang dekat menghijab yang jauh. Jika kedunya berada didua jalur maka masing-masing mendapat bagian dari ahli waris yang menghubungkan mereka dengan mayit.[18]
Ayah nenek dari pihak ibu mendapat warisan bagian nenek dari pihak ibu bukan bagian ibu. Puteri pman kandung dari pihak ayah mendapat warisan bagian paman bukan bagian ayah. Putera cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat warisan cucu perempuan dari anak laki-laki bukan bagian anak laki-laki.
E.Pendapat- pendapat tentang Dzawil-Arham.
Mengenai dzu arham ini bagi Hanafi dan syafii ketentuan “ ulul” digunakan untuk pengertian dzu-arham, yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan si mati tetapi bukan dzu-fara’id dan bukan ‘ashabah. Jadi semua anggota keluarga di garis ibu, lelaki maupun perempuan, dan semua anggota keluarga perempuan di garis bapak kecuali empat yang ditentukan dalam al-quran.  Seorang saudara perempuan atau seorang anak perempuan boleh jadi berkawin dengan keluarga yang berlainan sehingga anak-anak mereka dengan demikian boleh menjadi dzu- arham.
Berkata Ahmad Ibrahim:
(menurut para ahli mazhab Syafii tidak ada tempat tersedia dalam urutan mewaris bagi yang disebut keluargajauh atau ahli waris seibu, sehingga bila tidak ada dzu-fara’id dan ‘ashabah, harta peninggalan jatuh ke Baitulmal. Pada permulaannya mahzhab Syafii tidak membolehkan dzu-fara’id menerima lebih dari bagian yang ditentukan. Sebagai akibatnya dengan tidak adanya ahli warisyang berhak, maka sisa jatuh ke Baitulmal. Walaupun doktrin Syafii dalam beberapa negara diubah atas dalil bahwa Baitulmal tidak memenuhi syarat menurut undang-undang, di Malaysia dan Singapura doktrin Syafii yang semula dipakia,sehingga dalam semua perkara bagian Baitulmal harus dipastikan dan terpenuhi. Di Singapura ditetapkan dalam Administration of Muslim Law Act (Cap.42) bahwa sesudah berlakunya undang-undang  tersebut tiap orang islam yang mati dalam keadaan menurut syariat jatuh ke Baitulmal harta peninggalannya, harta tersebut harus diserahkan ke Majelis Agama Islam dan merupakan bagian dari Dana Amal Umum).
Menurut Hazairin dzu-arham adalah semua orang yang mempunyai hubungan darah dengan si mati termasuk ke atas, ke bawahdan ke samping sehingga ‘ulul arham merupakan pokok dalam kewarisan dan meliputi dzu-fara’id dan ‘ashabah. Pengertian ini di dasarkan oleh beliau kepada cara berpikir menurut sistem bilateral hubungan darah.
Golongan Syiah juga telah mulai memberikan tafsiran yang luas mengenai hubungan darah.Menurut golongan Syiah perempuan biar bagaimanapun jauhnya boleh mewaris dan pendapat ini mereka dasarkan kepada ketentuan al- Quran bahwa seorang anak perempuan berhak mewarisi dengan anak lelaki. Anggota keluarga di garis ibu dan anggota keluarga di garis bapak mewaris atas dasar yang sama, karena tidak terdapat di Al-Quran  yang menyatakan bahwa anggota keluarga digaris bapak mempunyai keutamaan. Al-Qur’an hanya menetapkan bahwa keluarga terdekat akan mewarisi si mati.
Kita lihat bahwa golongan Syiah tidak mengakui adat Arab yang membedakan antara golongan keluarga di garis bapak dan anggota keluarga di garis ibu. Maka itu mereka ciptakan satu istilah baru yang terkenal dengan sebutan ‘dzu-qarabat’ sebagai gabungan kelompok ‘ashabah dan kelompok dzu-arham.kelompok dzu-qarabat di golongan Syiah ini adalah bentuk keluarga yang memakai sistem bilateral.
Menurut golongan Ahlussunah kelompok dzu-arham tidak akan timbul lagi selagi masih ada kelompok dzu-fara’id dan kelompok ‘ashabah..[19]
Berkata Hazairin:
“Dalam lingkungan sesama dzawul arham maka pada madzhab Maliki, Syafii dan Hambali berlaku sistem hijab yang tersendiri (sistem ahli tanzil) di mana ukuran jauh dekat bukan diukur dari si mati tetapi dari orang-orang yang paling akhir menghubungkan si mati  dengan dzawul arham itu, penghubung-penghubung mana sendiri-sendiri seandainya hidup dapat menjadi ahli waris bagi si mati, baik ahli waris sebagi ashabah maupun ahli waris sebagai dzawul fara’id dan jika dzawul arham itu sama dekatnya menurut ukuran tadi maka hijab menghijab antara mereka mengikuti cara hijab menghijab antara penghubung-penghubung tadi. Pada mazhab Hanafi berlaku sistem dimana jauh dekat itu diukur dari si mati, maka yang lebih dekat menutup yang lebih jauh (sistem ahli kirabah) tetapi jika sama jauhnya maka belum berarti mereka akan sama-sama mendapat, sebab orang yang lebih dekat derajatnya kepada penghubungnya seperti yang dimaksud pada sistem ahli tanzil tadi menutup orang yang lebih jauh derajatnya kepada penghubungnya sendiri menurut ukuran seperti yang dimaksud pada sistem ahli tanzil itu juga”.
berkata pula M. Arsyad Lubis mengenai Tanzil:
“Tanzil maksudnya “ menempatkan” dzawil arham pada tempat waris yang mula-mula menghubungkan dia dengan mayat. Ia akan menerima pusaka sebanyak pendapatan yang diterima waris itu. Misalnya cucu perempuan dari anak perempuan adalah dzawil arham. Waris  yang mula-mula menghubungkan dia dengan mayat ialah anak perempuan. Maka cucu perempuan itu ditempatkan pada anak perempuan dan akan menerima pusaka sebanyak pendapatan yang diterima anak perempuan.”
Sedangkan mazhab Hanafi memakai doktrin qirabah, yaitu mendahulukan dzu-arham yang terdekat kepada mayit dari pada yang kurang dekat. Tegasnya kelas pertama didahulukan dari kelas kedua, kelas kedua di dahulukan dari kelas ketiga.[20]
Para ulama berselisih pendapat tentang posisi dzawil arham sebagai ahli waris. Malik dan as-Syafii berkata, “ mereka tidak menerima warisan.” Abu Hanifah dan Ahmad berkata, “ mereka menerima warisan dengan syarat selama tidak ada ahli waris yang mendapat bagian ashabah dan fardh. “ pendapat ini diriwayatkan dari Umar, Ali, Abu Ubaidah, Umar bin Abdul Aziz, Atha’ dan lain-lain. Inilah pendapat yang benar berdasarkan firman Allah:
.....وأٌوْلُوْاْأُلأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلىَ بِبَعْضٍ فىِ كِتَبِ اَللّهِ * اِنّ الله بِكُلِّ شَئٍ عَلِيْمٌ 
..........Dan dzawil arham (orang-orang yang mempunyai hubungan) itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu,” (QS. Al-ANFAL :75)
Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah صل الله عليه وسلم
اِبْنُ أُخْتِ الْقَوْمِ مِنْهُمْ
“Putera saudara perempuan suatu kaum termasuk kaum itu sendiri”.Hadits riwayat al-Bukhori dan Muslim.
Demikian juga berdasarkan sabda rasulullah صل الله عليه وسلم
الْخاَ لُ وَارِثُ مَنْ لاَوَارِثَ لَهُ يَعْقِلُ عَنْهُ وَيَرِ ثُهُ
"Paman dari pihak ibu adalah pewaris bagi (mayit) yang tidak mempunyai ahli waris. Dia juga yang membayarkan diyatnya dan mewarisinya.” Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah.[21]



اَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لاَ تَدْرُوْنَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكٌمْ نفْعًا
(tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaat bagimu.[22]
Mereka beralasan dengan ayat Al-Qur’an surat Al-Anfal (8):75

.....وأٌوْلُوْاْأُلأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلىَ بِبَعْضٍ فىِ كِتَبِ اَللّه
Orang-orang yang memounyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat di dalam kitab Allah)
Selanjutnya dalam surat Al-Nisa; (4):7 dijelaskan:
لِرِّ جَا لِ نَصِيبٌ مّمّاَ تَرَكَ اُلْوَلِدَانِ وَاُلأَقْرَ بُونَ وَ لِلنّساءِنَصِيْبٌ مّمّاَ تَرَكَ اُلْولِدَانِ وَاُلأَقْرَ بُوْنَ مِمَا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ~ نَصِيْبًا مّفْرُوضًا
bagi laki-laki ada hak bagian harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya,dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh miqdam bin ma’ad ra. Bahwa rasulullah Saw, bersabda:
الخا ل وارث من لاوارث له
“Saudara laki-laki ibu adalah menjadi ahli waris bagi orang-orang yang tidak mempunyai ahli waris”[23]
Fuqaha sahabat bereda pendapat dalam memberi pusaka kepada dzawil arham dan tentang tidak memberi warisan kepada mereka. Para sahabat dalam menghadapi masalah ini, terbagi dua golongan. Masing-masing golongan diikuti oleh segolongan fuqaha  tabi’in dan imam-imam mujtahidin serta pengikut-pengikut mereka.
Zaid ibn Tsabit dan sahabat-sahabat yang mengikutinya, tidak memberikan harta warisan kepada dzawil arham. Karena itu, apabila orang meninggal tidak meninggalkan waris dari ashabul furudh dan ashabah, maka tarikahnya diserahkan kepada baitul mal, walaupun yang meninggal itu mempunyai kerabat dzawil arham,karena mereka ini tidak berhak menerima pusaka. Apabila yang meninggal tidak mempunyai selain waris-waris yang berhak menerima faradh ( ashabul furudh), tetapi mereka tidak menghabiskan harta peninggalan, maka sisa harta, diserahkan kepada baitul mal juga, tidak dikembalikan kepada ashabul furudh,karena ulama-ulama yang tidak memberikan kepada dzawil arham, tidak pula menegembalikan sisa harta kepada ashabul furudh.[24]
IV.   KESIMPULAN
Pengertian Dzawil-Arham, Dzawil Arham menurut pengertian bahasa adalah:
1.Tempat menetap janin didalam perut ibunya.
2.Setiap orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang lain.
Sedangkan dalam hukum Islam para Ulama mendefinisikan Dzawil Arham yaitu: ahli waris yang mempunyai hubungan nasab dengan orang yang meninggal dunia, selain ‘ashabah  furudl dan ‘ashabah. Dapat dikatakan bahwa dzawil arham adalah orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan sipewaris melalui garis ibu atau wanita.[25]Dengan demikian,Dzawil Arham ini tidak ada bagian mereka, yang tertentu didalam Al-Qur’an maupun dalam Hadits (Dzawil Furudl), serta tidak termasuk orang yang mendapat sisa (‘ashabah).
Golongan Dzawil Arham
Orang-orang yang termasuk Zawil Arham ialah:
1.      Anak (laki-laki/perempuan) dari anak perempuan.
2.      Ayah dari ibu.
3.      Ibu dari ayahnya ibu.
4.      Anak (laki-laki/perempuan) dari saudara perempuan.
5.      Anak perempuan dari saudara laki-laki.
6.      Anak (laki-laki/perempuan) dari saudara seibu.
7.      Paman ( saudara laki-laki dari ayah) seibu.
8.      Saudara perempuan dari ayah.
9.      Anak perempuan dari paman.
10.  Saudara laki-laki dari ibu.
11.  Saudara perempuan dari ibu.
Ø  Pendapat- pendapat tentang Dzawil Arham:
Berkata Ahmad Ibrahim:
(menurut para ahli mazhab Syafii tidak ada tempat tersedia dalam urutan mewaris bagi yang disebut keluargajauh atau ahli waris seibu, sehingga bila tidak ada dzu-fara’id dan ‘ashabah, harta peninggalan jatuh ke Baitulmal. Pada permulaannya mahzhab Syafii tidak membolehkan dzu-fara’id menerima lebih dari bagian yang ditentukan. Sebagai akibatnya dengan tidak adanya ahli warisyang berhak, maka sisa jatuh ke Baitulmal. Walaupun doktrin Syafii dalam beberapa negara diubah atas dalil bahwa Baitulmal tidak memenuhi syarat menurut undang-undang, di Malaysia dan Singapura doktrin Syafii yang semula dipakia,sehingga dalam semua perkara bagian Baitulmal harus dipastikan dan terpenuhi. Di Singapura ditetapkan dalam Administration of Muslim Law Act (Cap.42) bahwa sesudah berlakunya undang-undang  tersebut tiap orang islam yang mati dalam keadaan menurut syariat jatuh ke Baitulmal harta peninggalannya, harta tersebut harus diserahkan ke Majelis Agama Islam dan merupakan bagian dari Dana Amal Umum).
Menurut Hazairin dzu-arham adalah semua orang yang mempunyai hubungan darah dengan si mati termasuk ke atas, ke bawahdan ke samping sehingga ‘ulul arham merupakan pokok dalam kewarisan dan meliputi dzu-fara’id dan ‘ashabah. Pengertian ini di dasarkan oleh beliau kepada cara berpikir menurut sistem bilateral hubungan darah.
Golongan Syiah juga telah mulai memberikan tafsiran yang luas mengenai hubungan darah.Menurut golongan Syiah perempuan biar bagaimanapun jauhnya boleh mewaris dan pendapat ini mereka dasarkan kepada ketentuan al- Quran bahwa seorang anak perempuan berhak mewarisi dengan anak lelaki. Anggota keluarga di garis ibu dan anggota keluarga di garis bapak mewaris atas dasar yang sama, karena tidak terdapat di Al-Quran  yang menyatakan bahwa anggota keluarga digaris bapak mempunyai keutamaan. Al-Qur’an hanya menetapkan bahwa keluarga terdekat akan mewarisi si mati.






V.      PENUTUP
Demikian penjelasan dalam makalah ini, semoga bermanfaat dan bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi kita semua. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah. Oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan untuk makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Utsaimin,Muhammad bin Shalih,Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu Katsir,2003)
Nasution,Amin Husein, Hukum Kewarisan,(Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2012)
Ramulyo,M.Idris,Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum,(Jakarta:Sinar Grafika,2000)
Siddik,Haji Abdullah, Hukum Waris Islam, (Jakarta:Widjaya,1984)
Ash- Shiddieqy,Teungku Muhammad, Fiqh Mawaris,( semarang:PT.Pustaka Rizki Putra,2012)



[1] Dr. Haji Abdullah Siddik,S.H, Hukum Waris Islam, (Jakarta:Widjaya,1984), hlm.121
[2] Dr. Haji Abdullah Siddik,S.H, Hukum Waris Islam, (Jakarta:Widjaya,1984), hlm.122


[3] Dr.H.Amin Husein Nasution,M.A, Hukum Kewarisan,(Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2012),hlm.139
[4] M.Idris Ramulyo,S.H,M.H,Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum,(Jakarta:Sinar Grafika,2000),hlm.189
[5] Dr.H.Amin Husein Nasution,M.A, Hukum Kewarisan,(Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2012),hlm.139
[6] Dr.H.Amin Husein Nasution,M.A, Hukum Kewarisan,(Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2012),hlm.140
[7] Dr.H.Amin Husein Nasution,M.A, Hukum Kewarisan,(Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2012),hlm.140-141
[8]Dr.H.Amin Husein Nasution,M.A, Hukum Kewarisan,(Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2012),hlm.141
[9] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu Katsir,2003),hlm.141
[10] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu Katsir,2003),hlm.141
[11] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu Katsir,2003),hlm.141-142

[12] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu Katsir,2003),hlm.142          
[13] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu Katsir,2003),hlm.143
[14] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu Katsir,2003),hlm.144
[15] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu Katsir,2003),hlm.145
[16] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu Katsir,2003),hlm.145-146
[17] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu Katsir,2003),hlm.146
[18] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu Katsir,2003),hlm.148

[19] Dr.haji Abdullah Shiddik,SH, hukum waris islam dan perkembangannya diseluruh dunia islam,( Jakart,widjaya 1984) hal: 122- 124
[20] Dr.haji Abdullah Shiddik,SH, hukum waris islam dan perkembangannya diseluruh dunia islam,(Jakarta,widjaya,1984) hal; 129-135
[21] Abu ihsan al- Atsari,  panduan praktis hukum waris menurut al-Qur’an dan AS- Sunnah yg shahih (Bogor,pustaka ibnu katsir2003,) hal:132-133
[22] H.Amin husein nasution,hukum kewarisan: suatu analisis komparatif pemikiran mujtahid dan kompilasi hukum islam,( Jakarta, pt rajagrafindo persada,2012 ) hal:138
[23] H.Amin husein nasution,hukum kewarisan: suatu analisis komparatif pemikiran mujtahid dan kompilasi hukum islam,( jakarta, pt rajagrafindo persada,2012) hal:142-143
[24] Prof.Dr.Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,Fiqih Mawaris,( semarang, PT.Pustaka Rizki Putra,2012)hal:199-200
[25] M.Idris Ramulyo,S.H,M.H,Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum,(Jakarta:Sinar Grafika,2000),hlm.189

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi Harus Bagaimana