Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Fiqh
Mawaris
Dosen Pengampu: A. Turmudzi,
S.H.,M.Ag.
![]() |
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG

I. PENDAHULUAN
Perkataan bahasa Arab arham bentuk jamak rahm bearti rahim atau kandungan secara
harfiah; jika tegasnya ialah hubungan darah. Secara istilah syari’ah ialah
hukum kerabat yang lain daripada dzu-faraid dan ‘ashabah,yaitu anggota keluarga
perempuan digaris bapak dan anggota keluarga digaris ibu, lelaki maupun
perempuan. Kesimpulannya,dzu-arham merupakan semua anggota keluarga digaris
ibu, baik lelaki maupun perempuan dan semua anggota keluarga perempuan digaris
bapak kecuali empat perempuan yang ditentukan bagiannya didalam Al-Qur’an:anak
perempuan,anak perempuan dari anak lelaki , saudara perempuan kandung, dan
saudara perempuan sebapak.[1]
Sekarang siapakah hubungan darah yang bukan ahli
waris al-Qur’an dan bukan pula ahli waris di garis bapak?tentu saja anggota
keluarga perempuan digaris bapak dan anggota keluarga digars ibu, baik lelaki
maupun perempuan. Al-Qur’an menyebutkan sejumlah anggota keluarga dan
memberikan hak bagian (sahm, farida)
kepada masing-masing mereka ini; mereka ini merupakan kelas pertama, terdiri
dari suami istri dan para anggota keluarga dekat lainnya, kebanyakan perempuan.
Dalam kelas kedua kita dapati semua ahli waris kesukuan, yaitu ‘ashabah, kedua
prinsip hukum pra Islam yang masih bertahan
adalah (I) bahwa semua mereka ini adalah kaum lelaki dan (II) bahwa
semua mereka digaris bapak. Sesudah memberikan perincian ini,maka ada yang
belum disebutkan, yaitu anggota keluarga perempuan digaris bapak dan digaris
ibu, baik lelaki maupun perempuan.[2]
II. RUMUSAN MASALAH
- Apa
pengertian dari Dzawil Arham?
- Siapa
saja yang termasuk Dzawil Arham?
- Bagaimana
tentang jalur dan Faedah Dzawil
Arham?
- Bagaimana
keadaan Dzawil Arham?
- Apa perbedaan
pendapat tentang Dzawil Arham?
III. PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Dzawil Arham
Dzawil Arham menurut pengertian bahasa adalah:[3]
- Tempat
menetap janin didalam perut ibunya.
- Setiap
orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang lain.
Sedangkan dalam hukum Islam para Ulama
mendefinisikan Dzawil Arham yaitu: ahli waris yang mempunyai hubungan nasab
dengan orang yang meninggal dunia, selain ‘ashabah furudl dan ‘ashabah. Dapat dikatakan bahwa dzawil arham adalah orang-orang
yang memiliki hubungan darah dengan sipewaris melalui garis ibu atau wanita.[4]Dengan
demikian,Dzawil Arham ini tidak ada bagian mereka, yang tertentu didalam
Al-Qur’an maupun dalam Hadits (Dzawil Furudl), serta tidak termasuk orang yang
mendapat sisa (‘ashabah).[5]
B.
Golongan
Dzawil Arham
Orang-orang yang termasuk Zawil Arham ialah:[6]
1. Anak (laki-laki/perempuan) dari anak
perempuan.
2. Ayah dari ibu.
3. Ibu dari ayahnya ibu.
4. Anak (laki-laki/perempuan) dari saudara
perempuan.
5. Anak perempuan dari saudara laki-laki.
6. Anak (laki-laki/perempuan) dari saudara
seibu.
7. Paman ( saudara laki-laki dari ayah)
seibu.
8. Saudara perempuan dari ayah.
9. Anak perempuan dari paman.
10. Saudara laki-laki dari ibu.
11. Saudara perempuan dari ibu.
Keseluruhan dari dzawil arham ini dapat dikelompok
kedalam 4 kelompok, yaitu:
1. Kelompok keturunan yaitu:
a. Anak (laki-laki/perempuan) dari anak
perempuan dan seterusnya kebawah.
b. Anak (laki-laki/perempuan) dari cucu
perempuan dan seterusnya kebawah.
2. Kelompok orang yang menurunkan:
a. Ayah dari ibu dan ayah dari ayah ibu dan
seterusnya keatas.
b. Ibu dari ayah ibu dan ibu dari ibu ayah
ibu dan seterusnya keatas.
3. Kelompok anak dari keturunan saudara:[7]
a. Anak (laki-laki/perempuan) dari saudara
perempuan, baik sekandung seayah atau seibu, serta keturunannya kebawah.
b. Anak perempuan dari saudara laki-laki
kandung, seibu atau seayah dan seterusnya ke bawah.
c. Anak perempuan dari anak laki-laki
saudara laki-laki kandung seayah atau
seibu dan seterusnya ke bawah.
d. Anak laki-laki dari saudara laki-laki
seibu, dan seterusnya ke bawah.
4. Kelompok anak keturunan kakek dan nenek:[8]
a. Paman (saudara laki-laki dari ayah).
b. Saudara perempuan dari ayah baik
kandung, seayah atau seibu dan seterusnya ke bawah.
c. Anak perempuan dari paman baik
sekandung, seayah atau seibu dan seterusnya ke bawah.
d. Saudara perempuan dari ibu baik
sekandung, seayah atau seibu dan seterusnya ke bawah.
C.
Beberapa
jalur dan Faedah Dzawil Arham
Karena kerabat ahli waris ada tiga; ashlu, furu’,
dan hawasyi, maka menurut pendapat yang masyhur dan pengikut-pengikut madzhab
imam Ahmad ialah membagi dzawil arham kepada tiga kelompok: dzawil arham ubuwwah, umuumah dan bunuwwah.[9]
Adapun Ubuwwah
adalah semua kakek, nenek dan hawasyi yang tidak mendapat bagian fardh dan
‘ashabah yang dihubungkan melalui jalur ayah. Seperti ayah nenek dari pihak
ayah, bibi-bibi dari pihak ayah, paman seibu dari pihak ayah, puteri-puteri
saudara laki-laki yang bukan seibu, putera-putera saudara perempuan yang bukan
seibu, anak-anak perempuan paman dari pihak ayah dan siapa saja yang
dihubungkan melalui jalur salah seorang dari mereka.[10]
Umuumah
adalah semua kakek, nenek dan hawasyi yang tidak mendapat bagian fardh dan ‘ashabah yang dihubungkan melaluijalur ibu. Seperti ayah dari ibu,
paman-paman dari pihak ibu, bibi-bibi dari pihak ibudari pihak ibu anak-anak
saudara laki-laki seibu dan siapa saja yang dihubungkan melalui jalur salah
seorang dari mereka.[11]
Bunuwwah
adalah semua furu’ yang tidak mendapat bagian fardh dan ‘ashabah.
Mereka adalah yang garis nasabnya dengan si mayit diperantarai oleh perempuan.
Seperti cucu laki-laki dari anak perempuan, anak laki-laki cucu perempuan dari
anak laki-laki dan orang-orang yang mereka hubungkan.[12]
Apabila di dalam satu jalur terdapat dua orang atau
lebih, maka kelompok yang paling dekat sampai ke mayit akan menghalangi
kelompok lainnya.
Jika keduanya berada dalam dua jalur, maka kita
menghubungkan masing-masing dari keduanya dengan ahli waris yang
menghubungkannya dengan mayit, walaupun tingkatannya jauh. Kemudian kita
membagi harta diantara ahli waris penghubung, apa yang menjadi hak ahli waris
penghubung itulah yang menjadi hak dzawil arham yang merupakan ahli waris
terhubung.
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan
ahli waris cucu perempuan dari anak perempuan, cicit perempuan dari cucu
perempuan dari anak perempuan dan cicit perempuan dari cucu perempuan dari
putri paman dari pihak ayah, maka cucu perempuan mendapat ½ karena ia menempati
posisi ibunya (putri si mayit) dan selebihnya diberikan kepada cicit paman,
karena ia menempati posisi paman, sementara cicit si mayit tidak mendapat
apa-apa, sebab cucu perempuan lebih dekat ke mayit dari pada cicit sehingga
cucu menghijab/ menggugurkan cicit karena berada dalam satu jalur. Cucu
perempuan tidak menggugurkan cicit paman karena jalurnya berbeda.
Jika seorang meninggal dunia dengan meninggalkan
ahli waris cucu perempuan dari putri saudara kandung laki-laki dan putri paman
kandung dari piha ayah, maka semua harta diberikan kepada putri paman, karena
mereka berada pada jalur yang sama dan putri paman adalah dzawil arhaam yang
terdekat.[13]
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan
ahli waris puteri anak perempuan (cucu perempuan dari anak perempuan), puteri
paman dari pihak ibu dan cucu perempuan dari puteri bibi dari phak ayah. Yang
paling dekat dengan ahli waris adalah puteri anak perempuan, lalu puteri paman dari pihak ibu. Karena jalur mereka berbeda,
maka yang dekat tidak dapat menggugurkan yang lebih jauh. Artinya kita berikan
bagian mereka masing-masing menurut ahli waris yang menghubungkan mereka.
Dengan demikian puteri anak perempuan mendapat 1/2 , karena ia menempati posisi
ibunya. Puteri paman mendapat 1/6, karena ia menempati posisi ibu, dan cucu
perempuan bibi(dari pihak ayah) mendapat bagian fardh 1/6 dan ‘ashabah, karena
ia menempati posisi ayah.
Beberapa
Faedah
Faedah pertama:
telah disinggung bahwa dzawil arham tidak akan mendapat warisan kecuali jika
ahli waris yang mendapat fardh dan ‘ashabah tidak ada. Jika ternyata ahli
waris si mayit masih ada, baik yang mendapat bagian fardh maupun ‘ashabah,
maka harta tersebut dibagikan kepada ahli waris tersebut sehingga dzawil arham
tidak mendapat apa-apa.[14]
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan
ahli waris paman yang bukan seibu (paman kandung atau seayah) dan bibi dari
pihak ayah, maka harta tersebut diberikan kepada paman sebagai bagian ‘ashabah, sementara bibi tidak mendapat
apa-apa.
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan
ahli waris saudara laki-laki seibu dan bibi dari pihak ibu, maka harta
diberikan kepada saudara laki-laki seibu sebagai bagian fardh dan radd.
Sementara bibi tidak mendapat apa-apa.
Apabila yang ada adalah ahli waris yang tidak
mendapat bagian radd, seperti suami dan istri, maka dzawil arham tidak
terhalang untuk mendapatkan sisa harta, setelah bagian suami dan istri
dikeluarkan dengan sempurna.
Jika seorang wanita meninggal dunia dengan meninggalkan
ahli waris suami dan cucu perempuan dari anak perempuan, maka suami mendapat ½
dan cucu mendapat ½.
Jika seorang suami meninggal dunia dengan
meninggalkan ahli waris istri dan cucu perempuan dari anak perempuan, maka
istri mendapat ¼, cucu mendapat ½ sebagai bagian fard dan sisinya diberikan kepadanya sebagai bagian radd.[15]
Faedah kedua:
Telah disinggung bahwa dalam dzawil arham bagian laki-laki sama dengan bagian
perempuan.
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan
ahli waris anak laki-laki dan perempuan dari saudara kandung perempuan, anak
laki-laki dan perempuan dari saudara perempuan seibu dan puteri paman kandung
dari pihak ayah, maka anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara kandung
perempuan mendapat ½, menurut madzhab Imam Ahmad dibagi sama dan menurut
riwayat kedua, bagian perempuan ½ bagian laki-laki, dan untuk anak laki-laki
dan perempuan dari saudara perempuan seibu 1/6 dan selebihnya diberikan kepada
puteri paman kandung.[16]
Faedah ketiga:
Pendapat yang masyhur dalam madhab Hambali bahwa apabila dzawil arham memiliki
dua jalur yang menghubungkannya kepada si mayit maka yang diambil adalah yang
paling kuat.
Jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan
ahli waris bibi dari pihak ayah, puteri saudara kandung laki-laki. Menurut
madhab Hambali, semua harta diberikan kepada bibi karena posisinya seperti
ayah. Sementara puteri saudara kandung laki-laki menempati posisi saudara
kandung laki-laki. [17]
Faedah keempat:
Faedah mengetahui seseorang memiliki jalur bunuwwah,
umuumah, dan ubuwwah bukan untuk
menetapkas yang bahwa dzawl arham akan
mengambil warisan bagian ayah, ibu atau anak. Sebab dia hanya mengambil bagian
ahli waris yang dekat hubungannya dan menjadi perantaranya. Untuk mengetahui
yang mengijab dan yang terhijab, apabila keduanya berada dalam satu jalur maka
yang dekat menghijab yang jauh. Jika kedunya berada didua jalur maka
masing-masing mendapat bagian dari ahli waris yang menghubungkan mereka dengan
mayit.[18]
Ayah nenek dari pihak ibu mendapat warisan bagian
nenek dari pihak ibu bukan bagian ibu. Puteri pman kandung dari pihak ayah
mendapat warisan bagian paman bukan bagian ayah. Putera cucu perempuan dari
anak laki-laki mendapat warisan cucu perempuan dari anak laki-laki bukan bagian
anak laki-laki.
E.Pendapat- pendapat tentang Dzawil-Arham.
Mengenai dzu arham
ini bagi Hanafi dan syafii ketentuan “ ulul” digunakan untuk pengertian
dzu-arham, yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan si mati
tetapi bukan dzu-fara’id dan bukan ‘ashabah. Jadi semua anggota keluarga di
garis ibu, lelaki maupun perempuan, dan semua anggota keluarga perempuan di
garis bapak kecuali empat yang ditentukan dalam al-quran. Seorang saudara perempuan atau seorang anak
perempuan boleh jadi berkawin dengan keluarga yang berlainan sehingga anak-anak
mereka dengan demikian boleh menjadi dzu- arham.
Berkata Ahmad Ibrahim:
(menurut para ahli
mazhab Syafii tidak ada tempat tersedia dalam urutan mewaris bagi yang disebut
keluargajauh atau ahli waris seibu, sehingga bila tidak ada dzu-fara’id dan
‘ashabah, harta peninggalan jatuh ke Baitulmal. Pada permulaannya mahzhab
Syafii tidak membolehkan dzu-fara’id menerima lebih dari bagian yang
ditentukan. Sebagai akibatnya dengan tidak adanya ahli warisyang berhak, maka
sisa jatuh ke Baitulmal. Walaupun doktrin Syafii dalam beberapa negara diubah
atas dalil bahwa Baitulmal tidak memenuhi syarat menurut undang-undang, di
Malaysia dan Singapura doktrin Syafii yang semula dipakia,sehingga dalam semua
perkara bagian Baitulmal harus dipastikan dan terpenuhi. Di Singapura
ditetapkan dalam Administration of Muslim Law Act (Cap.42) bahwa sesudah
berlakunya undang-undang tersebut tiap
orang islam yang mati dalam keadaan menurut syariat jatuh ke Baitulmal harta
peninggalannya, harta tersebut harus diserahkan ke Majelis Agama Islam dan
merupakan bagian dari Dana Amal Umum).
Menurut Hazairin
dzu-arham adalah semua orang yang mempunyai hubungan darah dengan si mati
termasuk ke atas, ke bawahdan ke samping sehingga ‘ulul arham merupakan pokok
dalam kewarisan dan meliputi dzu-fara’id dan ‘ashabah. Pengertian ini di
dasarkan oleh beliau kepada cara berpikir menurut sistem bilateral hubungan
darah.
Golongan Syiah juga
telah mulai memberikan tafsiran yang luas mengenai hubungan darah.Menurut
golongan Syiah perempuan biar bagaimanapun jauhnya boleh mewaris dan pendapat
ini mereka dasarkan kepada ketentuan al- Quran bahwa seorang anak perempuan
berhak mewarisi dengan anak lelaki. Anggota keluarga di garis ibu dan anggota
keluarga di garis bapak mewaris atas dasar yang sama, karena tidak terdapat di
Al-Quran yang menyatakan bahwa anggota
keluarga digaris bapak mempunyai keutamaan. Al-Qur’an hanya menetapkan bahwa
keluarga terdekat akan mewarisi si mati.
Kita lihat bahwa
golongan Syiah tidak mengakui adat Arab yang membedakan antara golongan
keluarga di garis bapak dan anggota keluarga di garis ibu. Maka itu mereka
ciptakan satu istilah baru yang terkenal dengan sebutan ‘dzu-qarabat’ sebagai
gabungan kelompok ‘ashabah dan kelompok dzu-arham.kelompok dzu-qarabat di
golongan Syiah ini adalah bentuk keluarga yang memakai sistem bilateral.
Menurut golongan Ahlussunah kelompok dzu-arham tidak akan
timbul lagi selagi masih ada kelompok dzu-fara’id dan kelompok ‘ashabah..[19]
Berkata Hazairin:
“Dalam lingkungan
sesama dzawul arham maka pada madzhab Maliki, Syafii dan Hambali berlaku sistem
hijab yang tersendiri (sistem ahli tanzil) di mana ukuran jauh dekat bukan
diukur dari si mati tetapi dari orang-orang yang paling akhir menghubungkan si
mati dengan dzawul arham itu,
penghubung-penghubung mana sendiri-sendiri seandainya hidup dapat menjadi ahli
waris bagi si mati, baik ahli waris sebagi ashabah maupun ahli waris sebagai
dzawul fara’id dan jika dzawul arham itu sama dekatnya menurut ukuran tadi maka
hijab menghijab antara mereka mengikuti cara hijab menghijab antara
penghubung-penghubung tadi. Pada mazhab Hanafi berlaku sistem dimana jauh dekat
itu diukur dari si mati, maka yang lebih dekat menutup yang lebih jauh (sistem
ahli kirabah) tetapi jika sama jauhnya maka belum berarti mereka akan sama-sama
mendapat, sebab orang yang lebih dekat derajatnya kepada penghubungnya seperti
yang dimaksud pada sistem ahli tanzil tadi menutup orang yang lebih jauh
derajatnya kepada penghubungnya sendiri menurut ukuran seperti yang dimaksud
pada sistem ahli tanzil itu juga”.
berkata pula M. Arsyad Lubis mengenai Tanzil:
“Tanzil maksudnya “
menempatkan” dzawil arham pada tempat waris yang mula-mula menghubungkan dia
dengan mayat. Ia akan menerima pusaka sebanyak pendapatan yang diterima waris
itu. Misalnya cucu perempuan dari anak perempuan adalah dzawil arham.
Waris yang mula-mula menghubungkan dia
dengan mayat ialah anak perempuan. Maka cucu perempuan itu ditempatkan pada
anak perempuan dan akan menerima pusaka sebanyak pendapatan yang diterima anak
perempuan.”
Sedangkan mazhab
Hanafi memakai doktrin qirabah, yaitu mendahulukan dzu-arham yang terdekat
kepada mayit dari pada yang kurang dekat. Tegasnya kelas pertama didahulukan
dari kelas kedua, kelas kedua di dahulukan dari kelas ketiga.[20]
Para ulama berselisih
pendapat tentang posisi dzawil arham sebagai ahli waris. Malik dan as-Syafii
berkata, “ mereka tidak menerima warisan.” Abu Hanifah dan Ahmad berkata, “
mereka menerima warisan dengan syarat selama tidak ada ahli waris yang mendapat
bagian ashabah dan fardh. “ pendapat ini diriwayatkan dari Umar, Ali, Abu
Ubaidah, Umar bin Abdul Aziz, Atha’ dan lain-lain. Inilah pendapat yang benar
berdasarkan firman Allah:
.....وأٌوْلُوْاْأُلأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلىَ بِبَعْضٍ فىِ
كِتَبِ اَللّهِ * اِنّ الله بِكُلِّ شَئٍ عَلِيْمٌ
..........Dan
dzawil arham (orang-orang yang mempunyai hubungan) itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (dari pada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu,” (QS.
Al-ANFAL :75)
Dan juga
berdasarkan sabda Rasulullah صل الله عليه وسلم
اِبْنُ أُخْتِ الْقَوْمِ مِنْهُمْ
“Putera saudara perempuan suatu kaum termasuk kaum itu
sendiri”.Hadits riwayat al-Bukhori dan
Muslim.
Demikian juga
berdasarkan sabda rasulullah صل الله عليه وسلم
الْخاَ لُ وَارِثُ مَنْ لاَوَارِثَ لَهُ يَعْقِلُ عَنْهُ وَيَرِ ثُهُ
"Paman dari pihak ibu adalah pewaris bagi (mayit) yang
tidak mempunyai ahli waris. Dia juga yang membayarkan diyatnya dan
mewarisinya.” Hadits riwayat
Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah.[21]
اَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لاَ تَدْرُوْنَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكٌمْ نفْعًا
(tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaat bagimu.[22]
Mereka beralasan dengan ayat Al-Qur’an surat Al-Anfal
(8):75
.....وأٌوْلُوْاْأُلأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلىَ بِبَعْضٍ فىِ
كِتَبِ اَللّه
Orang-orang yang memounyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat di
dalam kitab Allah)
Selanjutnya dalam surat Al-Nisa; (4):7 dijelaskan:
لِرِّ جَا لِ
نَصِيبٌ مّمّاَ تَرَكَ اُلْوَلِدَانِ وَاُلأَقْرَ بُونَ وَ لِلنّساءِنَصِيْبٌ
مّمّاَ تَرَكَ اُلْولِدَانِ وَاُلأَقْرَ بُوْنَ مِمَا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ~
نَصِيْبًا مّفْرُوضًا
bagi laki-laki ada hak bagian harta peninggalan ibu bapak
dan kerabatnya,dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu
bapak dan kerabatnya baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan.
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh miqdam bin ma’ad
ra. Bahwa rasulullah Saw, bersabda:
الخا ل وارث من
لاوارث له
“Saudara laki-laki ibu adalah menjadi ahli waris bagi
orang-orang yang tidak mempunyai ahli waris”[23]
Fuqaha sahabat
bereda pendapat dalam memberi pusaka kepada dzawil arham dan tentang tidak
memberi warisan kepada mereka. Para sahabat dalam menghadapi masalah ini,
terbagi dua golongan. Masing-masing golongan diikuti oleh segolongan
fuqaha tabi’in dan imam-imam mujtahidin
serta pengikut-pengikut mereka.
Zaid ibn Tsabit dan
sahabat-sahabat yang mengikutinya, tidak memberikan harta warisan kepada dzawil
arham. Karena itu, apabila orang meninggal tidak meninggalkan waris dari
ashabul furudh dan ashabah, maka tarikahnya diserahkan kepada baitul mal,
walaupun yang meninggal itu mempunyai kerabat dzawil arham,karena mereka ini
tidak berhak menerima pusaka. Apabila yang meninggal tidak mempunyai selain
waris-waris yang berhak menerima faradh ( ashabul furudh), tetapi mereka tidak
menghabiskan harta peninggalan, maka sisa harta, diserahkan kepada baitul mal
juga, tidak dikembalikan kepada ashabul furudh,karena ulama-ulama yang tidak
memberikan kepada dzawil arham, tidak pula menegembalikan sisa harta kepada
ashabul furudh.[24]
IV. KESIMPULAN
Pengertian Dzawil-Arham, Dzawil
Arham menurut pengertian bahasa adalah:
1.Tempat menetap janin
didalam perut ibunya.
2.Setiap orang yang
mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang lain.
Sedangkan dalam hukum Islam para
Ulama mendefinisikan Dzawil Arham yaitu: ahli waris yang mempunyai hubungan
nasab dengan orang yang meninggal dunia, selain ‘ashabah furudl dan ‘ashabah. Dapat dikatakan bahwa dzawil
arham adalah orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan sipewaris melalui
garis ibu atau wanita.[25]Dengan
demikian,Dzawil Arham ini tidak ada bagian mereka, yang tertentu didalam
Al-Qur’an maupun dalam Hadits (Dzawil Furudl), serta tidak termasuk orang yang
mendapat sisa (‘ashabah).
Golongan Dzawil Arham
Orang-orang yang termasuk Zawil Arham ialah:
1. Anak (laki-laki/perempuan) dari anak
perempuan.
2. Ayah dari ibu.
3. Ibu dari ayahnya ibu.
4. Anak (laki-laki/perempuan) dari saudara
perempuan.
5. Anak perempuan dari saudara laki-laki.
6. Anak (laki-laki/perempuan) dari saudara
seibu.
7. Paman ( saudara laki-laki dari ayah)
seibu.
8. Saudara perempuan dari ayah.
9. Anak perempuan dari paman.
10. Saudara laki-laki dari ibu.
11. Saudara perempuan dari ibu.
Ø Pendapat- pendapat tentang Dzawil Arham:
Berkata Ahmad Ibrahim:
(menurut para ahli mazhab Syafii tidak ada tempat
tersedia dalam urutan mewaris bagi yang disebut keluargajauh atau ahli waris
seibu, sehingga bila tidak ada dzu-fara’id dan ‘ashabah, harta peninggalan
jatuh ke Baitulmal. Pada permulaannya mahzhab Syafii tidak membolehkan
dzu-fara’id menerima lebih dari bagian yang ditentukan. Sebagai akibatnya
dengan tidak adanya ahli warisyang berhak, maka sisa jatuh ke Baitulmal.
Walaupun doktrin Syafii dalam beberapa negara diubah atas dalil bahwa Baitulmal
tidak memenuhi syarat menurut undang-undang, di Malaysia dan Singapura doktrin
Syafii yang semula dipakia,sehingga dalam semua perkara bagian Baitulmal harus
dipastikan dan terpenuhi. Di Singapura ditetapkan dalam Administration of
Muslim Law Act (Cap.42) bahwa sesudah berlakunya undang-undang tersebut tiap orang islam yang mati dalam
keadaan menurut syariat jatuh ke Baitulmal harta peninggalannya, harta tersebut
harus diserahkan ke Majelis Agama Islam dan merupakan bagian dari Dana Amal
Umum).
Menurut Hazairin dzu-arham adalah semua orang yang
mempunyai hubungan darah dengan si mati termasuk ke atas, ke bawahdan ke
samping sehingga ‘ulul arham merupakan pokok dalam kewarisan dan meliputi
dzu-fara’id dan ‘ashabah. Pengertian ini di dasarkan oleh beliau kepada cara
berpikir menurut sistem bilateral hubungan darah.
Golongan Syiah juga telah mulai memberikan tafsiran yang
luas mengenai hubungan darah.Menurut golongan Syiah perempuan biar bagaimanapun
jauhnya boleh mewaris dan pendapat ini mereka dasarkan kepada ketentuan al-
Quran bahwa seorang anak perempuan berhak mewarisi dengan anak lelaki. Anggota
keluarga di garis ibu dan anggota keluarga di garis bapak mewaris atas dasar
yang sama, karena tidak terdapat di Al-Quran
yang menyatakan bahwa anggota keluarga digaris bapak mempunyai
keutamaan. Al-Qur’an hanya menetapkan bahwa keluarga terdekat akan mewarisi si
mati.
V. PENUTUP
Demikian penjelasan dalam makalah ini, semoga
bermanfaat dan bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi kita semua. Penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah. Oleh karena
itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan
untuk makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-‘Utsaimin,Muhammad bin Shalih,Panduan Praktis Hukum Waris Menurut
Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu Katsir,2003)
Nasution,Amin Husein, Hukum Kewarisan,(Jakarta:PT.RajaGrafindo
Persada,2012)
Ramulyo,M.Idris,Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam
dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum,(Jakarta:Sinar Grafika,2000)
Siddik,Haji Abdullah, Hukum Waris Islam, (Jakarta:Widjaya,1984)
Ash- Shiddieqy,Teungku Muhammad, Fiqh Mawaris,( semarang:PT.Pustaka
Rizki Putra,2012)
[1] Dr. Haji Abdullah Siddik,S.H, Hukum Waris Islam,
(Jakarta:Widjaya,1984), hlm.121
[3] Dr.H.Amin Husein Nasution,M.A, Hukum
Kewarisan,(Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2012),hlm.139
[4] M.Idris Ramulyo,S.H,M.H,Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan
Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum,(Jakarta:Sinar
Grafika,2000),hlm.189
[5] Dr.H.Amin Husein Nasution,M.A, Hukum
Kewarisan,(Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2012),hlm.139
[6] Dr.H.Amin Husein Nasution,M.A, Hukum
Kewarisan,(Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2012),hlm.140
[7] Dr.H.Amin Husein Nasution,M.A, Hukum
Kewarisan,(Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2012),hlm.140-141
[8]Dr.H.Amin Husein Nasution,M.A, Hukum
Kewarisan,(Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2012),hlm.141
[9] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris
Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu
Katsir,2003),hlm.141
[10] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris
Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu
Katsir,2003),hlm.141
[11] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris
Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu
Katsir,2003),hlm.141-142
[12] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris
Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu
Katsir,2003),hlm.142
[13] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris
Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu
Katsir,2003),hlm.143
[14] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris
Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu
Katsir,2003),hlm.144
[15] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris Menurut
Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu Katsir,2003),hlm.145
[16] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris
Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu
Katsir,2003),hlm.145-146
[17] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris
Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu
Katsir,2003),hlm.146
[18] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Waris
Menurut Al-Qur’an dan al-Sunnah yang Shahih,(Bogor:Pustaka Ibnu Katsir,2003),hlm.148
[19] Dr.haji Abdullah Shiddik,SH, hukum waris islam dan perkembangannya
diseluruh dunia islam,( Jakart,widjaya 1984) hal: 122- 124
[20] Dr.haji Abdullah Shiddik,SH, hukum waris islam dan perkembangannya
diseluruh dunia islam,(Jakarta,widjaya,1984) hal; 129-135
[21] Abu ihsan al- Atsari,
panduan praktis hukum waris menurut al-Qur’an dan AS- Sunnah yg shahih (Bogor,pustaka ibnu katsir2003,) hal:132-133
[22] H.Amin husein nasution,hukum kewarisan: suatu analisis komparatif
pemikiran mujtahid dan kompilasi hukum islam,( Jakarta, pt rajagrafindo persada,2012 ) hal:138
[23] H.Amin husein nasution,hukum kewarisan: suatu analisis komparatif
pemikiran mujtahid dan kompilasi hukum islam,( jakarta, pt rajagrafindo persada,2012) hal:142-143
[24] Prof.Dr.Teungku Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy,Fiqih Mawaris,( semarang, PT.Pustaka Rizki
Putra,2012)hal:199-200
[25] M.Idris Ramulyo,S.H,M.H,Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan
Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum,(Jakarta:Sinar
Grafika,2000),hlm.189
Tidak ada komentar:
Posting Komentar