Senin, 10 Desember 2018

Makalah Lembaga Keuangan Syariah Perbankan


PERBANKAN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Lembaga Keuangan Syari’ah
Dosen Pengampu : Ida Nurlaeli, M. Ag

Perbankan



FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
PERBANKAN


                   I.             Pendahuluan
       Istilah bank dalam bahasa Arab disebut mashraf. Istilah bank berasal dari bahasa Italia yaitu banko. Pada awalnya merupakan kegiatan para penukar uang (money-changer) di pelebuhan-pelabuhan, yang banyak kelasi kapal dan para wisatawan yang datang dan pergi. Mulanya kegiatan itu dilakukan dengan cara meletakkan uang penukar di atas meja di tempat-tempat umum. Meja tempat meletakkan uang itulah yang disebut banko.
Dengan demikian, istilah bank merupakan pengembangan lebih lanjut dari istilah  banko, yang sebenarnya dimaksudkan sebagai simbol bagi alat penukaranMenurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Pasal 1 angka 1). Sedangkan menyangkut proses kelahiran bank, pada awalnya merupakan wujud dari perkembangan cara penyimpanan harta benda. Para saudagar khawatir membawa perhiasan dan barang berharga lainnya dari kejaran pencuri. Dari keadaan seperti itulah kemudian berkembanglah bank sebagaimana dikenal dewasa ini. Bank pertama kali berdiri pada awal abad ke-14 di kota dagang Venesia dan Genoa di Italia (pusat lalu lintas perdagangan di Italia pada waktu ini). Dari kedua kota itu kemudian sistem bank menjalar ke Eropa Barat dan kemudian pada tahun 1696 di Inggris berdiri pula sebuah bank yang bernama Bank of England.
Sedangkan di Indonesia, bank pertama kali didirikan pada tahun 1824. Ketika itu Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah bank yang diberi nama Handel Maatschappij (NHM), yang dewasa ini dikenal dengan nama Bank Ekspor Impor Indonesia (BEI). Kemudian pada tahun 1827 Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan De Javasche Bank (sekarang dikenal dengan nama Bank Indonesia) dan NV Escompto Bank (cikal bakal bank swasta, yang sekarang ini dikenal dengan nama Bank Dagang Negara). Apabila dilihat dari segi definisi, peristilahan bank berarti badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (pasal 1 angka 1 UU Nomor 7 Tahun 1992).
Dari  definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa bank merupakan perusahaan yang memperdagangkan utang piutang, baik yang berupa uang sendiri maupun uang masyarakat dan memperedarkan uang tersebut untuk kepentingan umum. Lalu bila dilihat dari segi jenis atau sistem pengelolaannya, bank dapat dikelompokkan menjadi bank konvensional (dengan sistem bunga) dan lembaga syari’ah (dengan sistem bagi hasil).[1]
                  II.            Rumusan Masalah
1.      Apa teori perbankan secara umum?
2.      Bagaimana operasional perbankan?
3.       Apa landasan hukum yang digunakan oleh perbankan?
4.      Bagaimana perbedaan perbankan konvensional dengan perbankan syariah?

               III.            Manfaat dan Tujuan
Dalam penulisan makalah ini, penulis mempunyai tujuan untuk melengkapi salah satu tugas dari Ibu Dosen, dalam rangka mencapai manfaat penulisan dengan manfaat agar menambah pengetahuan dan wawasan penulis, melatih diri dalam hal pembuatan makalah, dan untuk membangun kepribadian yang baik dengan menulis.









BAB II
PEMBAHASAN

A.    TEORI PERBANKAN SECARA UMUM
Bank adalah lembaga intermediasi bagi pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bank dengan sistem bunga ini (konvensional) ada dua jenis, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat.
B.     OPERASIONAL PERBANKAN
Usaha Bank Umum, apabila di telusuri ketentuan yang terdapat dalam pasal 6 UU Nomor 7 Tahun 1992, dapat dikemukakan bahwa jenis kegiatan usaha bank umum adalah:
1.      Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, dan tabungan.
2.      Memberi kredit.
3.      Menerbitkan surat pengakuan utang
4.  Membeli, menjual atau menjamin atau risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya:
a.         Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasioleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lamadaripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat tersebut.
b.        Surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat tersebut.
c.         Kertas perbendaharaan negara dan surat  jaminan pemerintah.
d.        Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
e.         Obligasi
f.         Surat dagang berjangka waktu sampai dengan  1 (satu) tahun.
g.        Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai 1 (satu) tahun.
h.      Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
i.        Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya.
j.        Menerima pembayaran dan tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga.
k.      Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
l.        Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan kontrak.
m.    Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.
n.      Membeli melalui pelelangan agunan baik  semua maupun  sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajiban kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
o.      Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat.
p.      Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
q.      Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana disebutkan diatas, menurut ketentuan pasal 7 UU Nomor 7 Tahun 1982 tersebut, bank umum juga dapat:
a.       Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b.      Melakukan kegiatan penyertaaan modal sementarang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
c.       Bertindak sebagai pendiri dan pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai dengan ketentuan  dalam perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.
Usaha Bank Perkreditan Rakyat
Suatu bank dinamakan bank perkreditan rakyat, sesuai dengan ketentuan pasal 13 Undang-undang Nomer 7 Tahun 1992 apabila bidang usahanya meliputi:
a.       Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lain yang  dipersamakan dengan itu.
b.      Memberikan kredit.
c.       Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil keuntungan sesuai  dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
d.      Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank lain.Dalam era globalisasi sekarang ini.[2]










Bank syari’ah
Bank syari’ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’ah.[3] Kegiatan perbankan syariah dapat diklasifikasikan dalam lima prinsip dasar, yaitu :
1.      Prinsip titipan (depository) atau Al-wadi’ah
Dalam fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip Al-Wadi’ah, yaitu titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip menghendaki. Dalam hal ini pihak bank mendapatkan bagi hasil dari penggunaan uang dan bank dapat memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk bonus. Akan tetapi pihak penerima titipan tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan.[4]
2.      Prinsip Bagi hasil (profit-sharing)  atau Al-Musyarokah
Al-Musyarokah adalah akad kerja sama  antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, yang didalamnya masing-masing  pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/ expertise) dengan  kesepakatan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[5]
3.      Prinsip Jual-Beli (sale and purchase)
Akad jual beli yang  dikembangkan dalam perbankan syariah meliputi :
a.       Bai’ al-murabahah, yaitu jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.
b.      Bai’ as-salam, berarti pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka.
c.       Bai’ al-istishna, yaitu kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang.[6]
4.      Sewa (operational lease dan financial lease)
Al-ijarah (operational lease) adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (milkiyah) atas barang itu sendiri. Sedangkan al-ijarah al-muntahia bit-tamlik (financial lease) adalah sejenis perpaduan antara kontrak  jual-beli dan sewa atau akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan si penyewa. Dan antara keduanya yang biasa digunakan adalah yang kedua, karena lebih sederhana dari segi pembukuan dan tidak direpotkan dengan masalah pemeliharaan.[7]
5.      Jasa (free-based Service)
Produk ini meliputi lima jenis :
a.       Al-wakalah atau Al-Wikalah, yaitu penyerahann pendelegasian atau pemberian mandat yangt berarti pelimpahan kekuasaan oleh seseoran kepada yang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.
b.      Al-Kafalah, yaitu jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang diatanggung. Kafalah juga berarti mengalihkan tanggungjawab seseorang yang dijamin dengan berpegangan pada tanggungjawab orang lain sebagai penjamin.
c.       Al-Hawalah, yaitu pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menangggungnya. Hal ini merupakan pemindahan beban utang dari  muhil (orang yang berutang) menjadi tanggunag muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang.
d.      Ar-Rahn, yaitu menahan slah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis.
e.       Al-Qardh, yaitu meminjamkan kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan atau tidak ada keuntungan finansial.[8]
C.            LANDASAN HUKUM PERBANKAN
Landasan hukum yang digunakan perbankan adalah sebagai berikut
Fatwa DSN-MUI Berkenaan Hukum Perbankan di antaranya:
1.      Fatwa No: 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro.
2.      Fatwa No: 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan.
3.      Fatwa No: 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito.
4.      Fatwa No: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.
5.      Fatwa No: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam.
6.      Fatwa No: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’.
7.      Fatwa No: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah.
8.      Fatwa No: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah.
9.      Fatwa No: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
10.  Fatwa No: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah.
11.  Fatwa No: 42/DSN-MUI/V/2004 tentang Syariah Charge Card.
12.  Fatwa No: 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi.
13.  Fatwa No: 45/DSN-MUI/II/2005 tentang Line Facility (At-Tashilat).
14.  Fatwa No: 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah.
15.  Fatwa No: 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar.
16.  Fatwa  Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:48/DSN-MUI/II/2005 tentang penjadwalan kembali Tagihan Murabahah.
17.  Fatwa No:49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konvensi akad Murabahah.
18.  Fatwa No:50/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musyarakah.
Dapat dikatakan bahwa keadaan ekonomi Islam masih memerlukan bank konvensional. Kita mengetahui bahwa bank-bank tersebut masih dimiliki oleh pihak non Islam, sedangkan urusan dagang dan ekonomi tidak dapat dilakukan tanpa ikut sertanya bank tersebut. Negara Islam pada umumnya menggunakan bank Internasional. Sekalipun mereka tidak mengambil interest yang didapatkan dari penyimpanan itu tetapi pada hakekatnya dosanya lebih besar dengan memberikan interest tersebut pada pihak lain.
Alasan dalam persoalan ini adalah qaedah Islam, yaitu:
·                      أَخَفُّ ا لضَّرَرَيْنِ
Artinya: (Bahaya yang lebih kecil) untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar.
·           دَرْءُالْمَفَا سِدِ مُقَدَّ مٌ عَلَى جَلْبِ المَصَا لِحِ
Artinya: /Menghindarkan bahaya /kemelaratan diutamakan daripada mencari manfaat.
·           اَلضَّرُورَاتِ تُبِيحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Artinya: “/keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang.[9]

Usaha Yang Dilakukan Bank Islam
Bank adalah lembaga keuangan yang menyediakan jasa-jasa dalam bidang keuangan. Fungsi bank adalah menerima deposito, menerima tabungan, memberikan pinjaman, menyetorkan uang dan menjual jasa-jasa perbankan lainnya. Misalnya, jual beli kertas berharga, transaksi devisa, penukaran mata uang dan sebagainya. Karena fungsi bank yang sedemikian itu, maka bank tidak bisa dipisahkan begitu saja daridunia usaha maupun perekonomian suatu negara.[10]
PRODUK PERBANKAN SYARIAH DIBIDANG JASA
Perbankan syariah sebagai bank yang bebas bunga dalam menjual produk-produknya mendapatkan pendapatan berupa bagi hasil, margin, biaya administrasi, dan fee. Bagi hasil merupakan pendapatan bank dari pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang digulirkan kepada nasabah, margin merupakan pendapatan bank dari pembiayaan yang berdasarkan pada akad jual beli (murabahah, salam, dan istishna), sedangkan fee dan biaya administrasi merupakan pendapatan bank dari sektor jasa.[11]
Produk perbankan syariah dibidang jasa ini merupakan salah satu sektor pendapatan yang saaat ini dikembangkan oleh bank-bank syariah. Berbagai produk baru dikeluarkan oleh bank dengan terlebih dahulu pihak bank meminta fatwa dari DSN. Pengeluran produk baru sebagaimana dimaksud juga memerlukan izin dari bank Indonesia sebagai pemegang otoritas perbankan.[12]
Dalam rangka memberikan pengaturan terhadap produk-produk perbankan syariah, Bank Indonesia telah mengeluarkan PBI no.10/17/PBI/2008 tentang produk Bank Syariah Dan Unit Usaha Syariah.
Produk jasa perbankan adalah sebagai berikut:
a)      Memberikan kredit pada pihak lain yang menghasilkan bunga.
b)      Menyediakan fasilitas pemindahan uang (transfer).
c)      Menerima deposito dan penyimpanan dokumen-dokumen.
d)     Provisi dan komisi.
e)      Menyediakan “private safes” untuk perorangan.
f)       Jual-beli surat berharga dan uang karena selisih kurs, perbedaan rente dan premi.
g)      Macam-macam jasa lainnya: menyediakan jasa-jasa atas dasar sound base, feasibility studies, dan lain-lain.[13]




Produk perbankan syariah dibidang jasa didasarkan pada akad-akad yang sudah dikenal dalam Islam, antara lain:[14]
a.       HIWALAH
Adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepadaorang lain yang wajib menanggungnya.
b.      KAFALAH
Adalah orang yang diperbolehkan bertindak (berakal sehat) berjanji menunaikan hak yang wajib ditunaikan orang lain atau berjanji menghadirkan hak tersebut dipengadilan.
c.       WAKALAH
Adalah suatu perjanjian dimana seseorang mendelegasikan atau menyerahkan sesuatu wewenang (kekuasaan) kepada seseorang yang lain untuk menyelenggarakan sesuatu urusan,dan orang lain tersebut menerimanya , dan melaksanakannya untuk dan atas nama pemberi kuasa.
d.      GADAI (RAHN)
Adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan ditarik kembali. Rahn bisa juga diartikan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syariat sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutangnya semuanya atau sebagian.
e.       SHARF
Adalah bisa diartikan sebagai penambahan, penukaran, penghindaran, pemalingan, atau transaksi jual beli. Secara istilah sharf adalah perjanjian jual beli  suatu valuta dengan valuta lainnya.
Sehubungan dengan masalah yang dihadapi umat Islam saat ini, dalam hal yang berkaitan dengan bunga bank, maka didirikan bank Islam, yang cara kerjanya disesuaikan dengan syariat Islam yang didasarkan pada Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan bunga.[15]
Bank Islam di Indonesia, baik Bank Muamalat Indonesia (BMI) maupun Bank-bank Syariah lainnya, bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan umat, dengan meningkatkan kegiatan usaha, kesempatan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan masyarakat, serta meningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Disamping itu, BMI juga bertujuan untuk mengembangkan sistem perbankan yang sehat berdasarkan efisiensi dan keadilan sesuai dengan ajaran Islam.[16]
D.    PERBEDAAN BANK ISLAM DAN BANK KONVENSIONAL
Kegiatan operasional bank Islam adalah menawarkan produk-produk perbankan sebagai berikut:[17]
PRODUK PERBANKAN SYARIAH DIBIDANG PENGHIMPUNAN DANA DARI MASYARAKAT (FUNDING)
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentu-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dengan mendasarkan pengertian bank menurut Undang-Undang Nomer 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomer 7 tahun 1992tentang perbankan dan  Undang-Undang Nomer 21 Tahun 2008 tentang perbankan Syariah tampak bahwa bank adalah lembaga keuangan yang berfungsi sebagai intermediasi keuangan ( financial intermediary institution).[18]
Pengertian prinsip syariah juga dapat dijumpai dalam pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomer 21  Tahun 2008. Pasal dimaksud menyebutkan bahwa prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan  berdasarkan fatwa yang dikeluarkan lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah. Lembaga dimaksud, yakni Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).[19]

Usaha Mencari Dana
a)      Giro Wadi’ah, yaitu titipan nasabah di BMI. Setiap waktu dapat diambil dan mendapat bonus dari BMI.
b)      Tabungan Mudharabah, yaitu simpanan nasabah, diberi keuntungan oleh BMI berdasarkan kesepakatan.
c)      Deposito Investasi Mudharabah, yaitu titipan nasabah yang dapat diambil berdasrakan jangka waktu yang disepakati dan bagi hasil keuntungan.
d)     Tabungan Haji Mudharabah, yaitu simpanan nasabah untuk naik haji, diberi imbalan oleh BMI.
e)      Tabungan Qurban, yaitu simpana nasabah untuk ibadah qurban, diberi  imbalan oleh BMI.

Usaha Penggunaan Dana
a)      Pembiayaan Mudharabah, yaitu pemberian modal investasi, atau modal kerja sepenuhnya. Pengusaha menyediakan manajemen dan operasionalnya, keuntungan dibagi sesuai kesepakatan.
b)      Pembiayaan Murabahah, yaitu pembiayaan untuk membeli barang dan dijual oleh bank, ditambah keuntungan, pembayaran dengan cicilan, dalam jangka waktu yang tidak lebih dari satu tahun. Ini sama dengan kredit modal kerja pada bank biasa.
c)      Pembiayaan Bai’ Bi al-Tsaman al-Ajil, yaitu sejenis pembelian barang dengan cicilan, ini seperti kredit investasi, dalam jangka waktu cicilan lebih dari satu tahun. Bank memperoleh keuntungan dari kelebihan harta yang ditetapkan.
d)     Pembiayaan Qardh al-Hasan, yaitu pinjaman lunak bagi pengusaha kecil yang benar-benar kekurangan modal. Tidak dipungut  tambahan  pembayaran, kecuali biaya administrasi.
e)      Pembiayaan Musyarakah, yaitu bank membiayai sebagian dari kebutuhan modal perusahaan, dan bank turut serta dalam manajemen perusahaan tersebut, sedangkan keuntungan dibagi sesuai kesepakatan.
f)       Jasa Lain Yang Ditawarkan oleh BMI ialah jasa pembukaan L/C (Letter Of Credit) untuk keperluan ekspor-impor, jasa inkaso (penagihan uang), jasa transfer uang, dan bank garansi.[20]
PERBANKAN
Sistem perbankan Islam:
a)      Berdasarkan prinsip investasi bagi hasil.
b)      Menggunakan prinsip jual beli.
c)      Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan .
d)     Melakukan investasi-investasi yang halal saja.
e)      Setiap produk dan jasa yang diberikan sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah.
f)       Adanya larangan gharar (tipuan) maisir (judi).
g)      Menciptakan keserasian diantara keduanya.
h)      Tidak memberiakan dana secara tunai, tetapi memberi barang yang dibutuhkan (finance the goods and sevices).
i)        Bagi hasil menyeimbangkan sisi passiva dan aktiva.
Sistem perbankan konvensional:
a)      Berdasarkan tujuan membungakan uang.
b)      Menggunakan prinsip pinjam meminjamuang.
c)      Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitur-kreditur.
d)     Melakukan investasi-investasi yang halal maupun yang haram.
e)      Tidak mengenal dewan semacam itu.
f)       Terkadang terlibat dalam speculative FOREX dealing.
g)      Berkontribusi dalam terjadinya kesenjangan antara sektorriil dengan sektor moneter.
h)      Memberikan peluang yang sangat besar untuk sight streaming (penyalahgunaan dana pinjaman).
i)        Rentan terhadap negative spread.[21]
Perbedaan sitem bunga dengan sistem bagi hasil
Sistem Bunga:
a)      Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.
b)      Besarnya bunga adalah suatu persentase tertentu terhadap besarnya uang yang dipinjamkan.
c)      Besarnya bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa mempertimbangkan apakah proyek yang dijalankan nasabah (mudharib) untung atau rugi.
d)     Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.

Sistem Bagi Hasil:
a)      Penentuan besarnya nisbah / persentase bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
b)      Besarnya bagi hasil adalah brdasarkan nisbah /persentase terhadap besarnya keuntungan yang diperoleh.
c)      Besarnya bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek/ usaha yang dijalankan. Bila usaha merugi, maka kerugian akan ditanggung oleh pemilik dana, kecuali kerugian karena kelalaian,salah urus,atau pelanggaran oleh nasabah(mudharib).
d)     Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.[22]
Sebagai sebuah institusi keuangan sekaligus financial intermediary, bank konvensional (BK) dan Bank Islam(BI) dibangun diatas fundamental values ang hirarki nilai sistemnya sama, tetapi substansi nilainya berbeda. Substansi nlai tersebut ditentukan oleh agama atau aliran pemikiran tertentu. Dalam hal ini, Mohammad Arif telah mengungkapkan bahwa bank konvensional mendapat inspirasi dari sistem eonomi kapitalis, paradigma yang dipakai adalah paradigma ekonomi pasar, basis dasar mikroya adalah manusia ekonomi, dan dasar filosofisnya adalan individualisme utilitarian berdasar pada filosofi laissez faire. Sedangkan bank Islam diderivasi dari sistem ekonomi Islam, dengan paradigma Syariah, basis dasar mikro yang dipakai adalah manusia muslim, dan dasar filosofisnya adalah individualisme berperan sebagai Khalifah Allah dibumi dengan tujuan hidup mencapai falah di dunia dan di akhirat serta bertanggung jawab atas semua tindakan.[23]
Dengan demikian, secara spirit-substansial maupun secara metodik-operasionalistik, bank konvensional tidak lebih dari produk pemikiran manusiasedangkan bank Islam, secara metodik operasionalistik memang produk pemikiran manusia (konsep insaniyah), tetapi secara spirit substansial, bank Islam adalah konsep illahiyat, karena diintrodusir dari konsep-konsep dalam Al-Qur’an, yang tak lain adalah wahyu Allah. Dari aspek metodik operasionalistik, bisa saja bank konvnsional dibandingkan bank Islam. Tetapi, dari aspek spirit substansial, sulit kalau tidak malah mustahil membandingkan antara bank konvensional dan bank Islam.
Jika bank Islam dikategorikan mitos, ada beberapa ansumsi dasar yang bisa dimunculkan. Pertama, bank Islam dianggap tidak empirik, karena konseptualisasi bank Islam bersifatdeduktif-teologis dan berbeda dengan bank konvensional yang induktif-empiris.pengetahuan teologis, seperti dikatakan Good dan Hatt, betapapun sistematiknya, tetaplah deduktif dan tidak ilmiah. Kedua, berkaitan dengan simbol kata-kata “Islam” atau “Syariah’ menunjukkan nuansa ketuhanan yang sangat kental. Ketiga, kehadiran bank Islam relatif baru dibanding bank konvensional yang kapitalistik secara tidak langsung dianggapsebagai bank alternatif.[24]
Ditegaskan oleh para ahli agama yang mengikuti dalail(Al-Qur’an dan Hadits) dan menyadari maksud-maksud dan tujuan utama dari Islam yaitu, bahwa Islam itu berpuncuk pangkal pada kaedah “keentengan/kelapangan”dan menghindarkan kesulitan serta keberatan. Kaedah ini ditegaskan dengan nash ayat-ayat Al-Qur’an yang tersimpul dalam firman Allah SWT:[25]
t3 ߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#  ©öÇÊÑÎÈ
Artinya:”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu”
$tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4.
Artinya:”Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
Para ekonom Islam telah menunjukkan bahwa sistem bagi hasil tidak hanya layak , tetapi juga lebih efisien dibanding sistem berdasarkan bunga. Sistem berdasarkan bunga tidak efisien sepanjang perusahaan produktif dipermodali dengan kredit berbunga yang para penyedia modal (bank)-nya hanya mempertimbangkan kemampuan / kekayaan sipeminjam.[26]
Juga telah ditunjukkan bahwa sistem bagi hasil akan menciptakan pembagian surplus sosial yang adil dan merata-sementara sistem berdasarkan bunga tidaklah adil karena hanya menjamin hasil positif yang jelas bagi sumber modal sementara produktivitas investasi tidak pasti. Sistem berdasarkan bunga ini mengalihkan kekayaan tambahan kepada para pemilik modal meskipun tidak ada tercipta kekayaan tambahan melalui penggunaan modal tersebut dalam perusahaan produktif.[27]

                  IV.           KESIMPULAN
1.      Bank adalah lembaga intermediasi bagi pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana.
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentu-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak Bank dengan sistem bunga ini (konvensional) ada dua jenis, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat
2.      Usaha Bank Umum, apabila di telusuri ketentuan yang terdapat dalam pasal 6 UU Nomor 7 Tahun 1992, dapat dikemukakan bahwa jenis kegiatan usaha bank umum adalah:
a.       Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, dan tabungan.
b.      Memberi kredit.
c.       Menerbitkan surat pengakuan utang
Membeli, menjual atau menjamin atau risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya.
3.      Landasan hukum yang digunakan perbankan adalah sebagai berikut
Fatwa DSN-MUI Berkenaan Hukum Perbankan di antaranya:[28]
1.      Fatwa No: 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro.
2.      Fatwa No: 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan.
3.      Fatwa No: 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito.
4.      Fatwa No: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.
5.      Fatwa No: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam.
6.      Fatwa No: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’.
7.      Fatwa No: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah.
8.      Fatwa No: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah.
9.      Fatwa No: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
10.  Fatwa No: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah.
11.  Fatwa No: 42/DSN-MUI/V/2004 tentang Syariah Charge Card.
12.  Fatwa No: 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi.
13.  Fatwa No: 45/DSN-MUI/II/2005 tentang Line Facility (At-Tashilat).
14.  Fatwa No: 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah.
15.  Fatwa No: 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar.
16.  Fatwa  Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No:48/DSN-MUI/II/2005 tentang penjadwalan kembali Tagihan Murabahah.
17.  Fatwa No:49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konvensi akad Murabahah.
18.  Fatwa No:50/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musyarakah.
Dapat dikatakan bahwa keadaan ekonomi Islam masih memerlukan bank konvensional. Kita mengetahui bahwa bank-bank tersebut masih dimiliki oleh pihak non Islam, sedangkan urusan dagang dan ekonomi tidak dapat dilakukan tanpa ikut sertanya bank tersebut. Negara Islam pada umumnya menggunakan bank Internasional. Sekalipun mereka tidak mengambil interest yang didapatkan dari penyimpanan itu tetapi pada hakekatnya dosanya lebih besar dengan memberikan interest tersebut pada pihak lain.
Alasan dalam persoalan ini adalah qaedah Islam, yaitu:
·           أَخَفُّ ا لضَّرَرَيْن
Artinya: (Bahaya yang lebih kecil) untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar.
·         دَرْءُالْمَفَا سِدِ مُقَدَّ مٌ عَلَى جَلْبِ المَصَا لِحِ
Artinya: /Menghindarkan bahaya /kemelaratan diutamakan daripada mencari manfaat.
·         اَلضَّرُورَاتِ تُبِيحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Artinya: “/keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang.[29]
4.      Perbedaan sitem bunga dengan sistem bagi hasil
Sistem Bunga:
a)      Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.
b)      Besarnya bunga adalah suatu persentase tertentu terhadap besarnya uang yang dipinjamkan.
c)      Besarnya bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa mempertimbangkan apakah proyek yang dijalankan nasabah (mudharib) untung atau rugi.
d)     Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.



Sistem Bagi Hasil:
a)      Penentuan besarnya nisbah / persentase bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
b)      Besarnya bagi hasil adalah brdasarkan nisbah /persentase terhadap besarnya keuntungan yang diperoleh.
c)      Besarnya bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek/ usaha yang dijalankan. Bila usaha merugi, maka kerugian akan ditanggung oleh pemilik dana, kecuali kerugian karena kelalaian,salah urus,atau pelanggaran oleh nasabah(mudharib).
d)     Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.[30]

                V.            PENUTUP
Demikian penjelasan dalam makalah ini, semoga bermanfaat dan bisa tambahan pengetahuan. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah. Oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapan demi kesempurnaan makalah ini dan untuk makalah selanjutnya.







[1] Suhrawardi, K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam , ( Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 38-39
[2] Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: sinar Grafika, 2000, hlm. 41                                                       
[3] Heri,Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Ekonisa, 2003), hal. 27
[4] Sawaljo Puspopranoto. Keuangan Perbankan  Dan Pasar Keuangan, Jakarta: LP3ES Indonesia, 2004, hlm. 110
[5] Sawaljo Puspopranoto. Keuangan Perbankan  Dan Pasar Keuangan, Jakarta: LP3ES Indonesia, 2004, hlm. 111
[6] Sawaljo Puspopranoto. Keuangan Perbankan  Dan Pasar Keuangan, Jakarta: LP3ES Indonesia, 2004, hlm. 111
[7] Sawaljo Puspopranoto. Keuangan Perbankan  Dan Pasar Keuangan, Jakarta: LP3ES Indonesia, 2004, hlm. 112

[8] Sawaljo Puspopranoto. Keuangan Perbankan  Dan Pasar Keuangan, Jakarta: LP3ES Indonesia, 2004, hlm. 112-113
[9] Fuad, M. Fachruddin, Ekonomi Islam, (Jakarta: Mutiara, 1982), hal. 148-149
[10] H.E. Hassan Saleh,Kajian FIQH Nabawi dan FIQH Kontemporer, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2008,hlm.399
[11] Abdul Ghofur Anshori. Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009, hlm.152
[12] Abdul Ghofur Anshori. Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009, hlm.152
[13] Ibid, hlm.400
[14] Abdul Ghofur Anshori. Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009, hlm.153-172
[15] Ibid,hlm.400
[16] Ibid, hlm.401
[17] Ibid, hlm. 401
[18] Abdul Ghofur Anshori. Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009, hlm.82
[19] Abdul Ghofur Anshori. Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009, hlm.83
[20]  H.E. Hassan Saleh, Kajian FIQH Nabawi dan FIQH Kontemporer, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2008,hlm.402
[21] Ibid, hlm.403
[22] Ibid, hlm.404
[23] DRS.M.Nur Yasin, M.AG, Hukum Ekonomi Islam,Malang:UIN-Malang Press(Anggota IKAPI),2009, hlm. 115-116
[24] DRS.M.Nur Yasin, M.AG, Hukum Ekonomi Islam,Malang:UIN-Malang Press(Anggota IKAPI),2009, hlm. 120
[25] Drs. H. Ibrahim Lubis,Bc. Hk. Dipi. Ec. Ekonomi Islam Suatu Pengantar,Jakarta: Radar Jaya Offset, 1994, hlm.480
[26] Drs. H. Ibrahim Lubis,Bc. Hk. Dipi. Ec. Ekonomi Islam Suatu Pengantar,Jakarta: Radar Jaya Offset, 1994, hlm.487
[27] Drs. H. Ibrahim Lubis,Bc. Hk. Dipi. Ec. Ekonomi Islam Suatu Pengantar,Jakarta: Radar Jaya Offset, 1994, hlm.488
[28] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A. Hukum Perbankan Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2008, Hlm.244-283
[29] Fuad, M. Fachruddin, Ekonomi Islam, (Jakarta: Mutiara, 1982), hal. 148-149
[30] Ibid, hlm.404

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi Harus Bagaimana