Jumat, 07 Desember 2018

Makalah Menejemen Resiko BMT


BAITUL MAL WAT TAMWIL
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Manajemen Resiko Keuangan Syariah
Dosen Pengampu : Rahman El- Junusi

Makalah Manajemen Resiko BMT
Disusun oleh :
Anik Misrofah             122411058


FAKUTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015




       I.            PENDAHULUAN
Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang secara teknik menggunakan prinsip-prinsip syariah merupakan salah satu proses untuk membangun sistem ekonomi Islam baik dalam skala mikro maupun makro. Dilihat dari segi kedudukan dan perannya, lembaga keuangan syariah sejenis bank syariah, BMT dan Asuransi Tafakul di Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat sehingga dapat memberi peran yang lebih maksimal dan memberi daya tawar positif untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.Dilihat dari sisi jumlah, perkembangan lembaga keuangan syariah masih akan tetap menunjukkan pertumbuhan yang tinggi di masa depan. Hal ini disebabkan pertumbuhan yang ada sekarang pada hakikatnya belum maksimal secara kuantitatif.
    II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian dari BMT?
2.      Apa saja perbedaan BMT dan KJKS?
3.      Apa saja Manajemen Resiko pada BMT/ KJKS?
 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian BMT  
BMT dengan bentuk jasa koperasi sebagai salah satu Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang diatur keberadaannya melalui undang-undang, KJKS mempunyai usaha inti dan bergerak dalam kegiatan simpan pinjam. Mengumpulkan dana dari masyarakat berupa jasa simpan pinjam yang memberikan jasa pembiayaan dengan segmentasi khusus masyarakat pada skala usaha dan kebutuhan konsumsi klasifikasi menengah kecil.[1]
Praktek usaha Koperasi yang dikelola secara syariah telah tumbuh dan berkembang di masyarakat serta mengambil bagian penting dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Di masyarakat telah bermunculan BMT yang bernaung dalam kehidupan payung hukum koperasi. Hal inilah yang mendorong Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah untuk menerbitkan Surat Keputusan Nomor 91/kep/MKUKM/IX/2004.
Berdasarkan ketentuan yang disebut Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) adalah koperasi yang kegiatan usahanya bergerak dibidang pembiayaan, investasi dan simpanan sesuai pola bagi hasil (syariah). Dengan demikian semua BMT yang ada di Indonesia dapat digolongkan dalam KJKS, mempunyai payung Hukum dan Legal kegiatan operasionalnya asal saja memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Ø  BMT adalah kependekan kata Balai Usaha Mandiri Terpadu atau Baitul Mal wat Tamwil, yaitu lembaga keuangan mikro (LKM) yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. BMT sesuai namanya sendiri dari dua fungsi utama yaitu:
a.       Baitul tamwil (rumah pengembangan harta), melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi.
b.      Baitul mal (rumah harta), menerima titipan dana zakat, infak, dan sedekah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
Baitul mal wat tamwil (BMT) adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil bawah dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabun dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Selain itu, Baitul Mal wat Tamwil juga bisa menerima titipan zakat, infak,dan sedekah, serta menyalurkannya sesuai dengan peraturan dan amanatnya.
Dengan demikian, keberadaan BMT dapat dipandang memiliki dua fungsi utama yaitu sebagai media penyalur pendayagunaan harta ibadah seperti zakat, infaq, sedekah, dan wakaf serta dapat pula berfungsi sebagai institusi yang bergerak di bidang investasi yang bersifat produktif sebagaimana layaknya bank. Pada fungsi ke dua ini dapat dipahami bahwa selain berfungsi sebagai lembaga keuangan, BMT juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga keuangan BMT bertugas menghimpun dana dari masyarakat (anggota BMT) yang memercayakan dananya disimpan di BMT dan menyalurkan dana kepada masyarakat (anggota BMT) yang diberikan pinjaman oleh BMT.[2]
B.     Perbedaan  kegiatan BMT dan Koperasi
Adanya konversi dari BMT menjadi badan hukum Koperasi menimbulkan suatu konsekuensi yuridis yaitu ideologi-ideologi Koperasi harus diterapkan dalam segala aspek kegiatan yang dijalankan oleh Koperasi tersebut. Dengan diterapkannya ideologi-ideologi Koperasi dalam kehidupan BMT yang berkonverasi menjadi Koperasi menandakan bahwa lembaga tersebut telah menjadi apa yang dimaksud dengan Koperasi secara utuh. Ideologi merupakan kerangka berpikir yang nantinya akan mendasari perbuatan-perbuatan yang akan dilaksanakan kedepannya, sehingga apabila suatu lembaga telah menganut ideologi Koperasi, maka nantinya lembaga tersebut akan melakukan perbuatan-perbuatan yang seharusnya dan selayaknya dilakukan oleh Koperasi sehingga lembaga tersebut dapat disebut sebagai suatu Koperasi.
Perbedaan kegiatan usaha yang dilakukan BMT dan Koperasi
NO
Perbedaannya
BMT
Koperasi
1
Pengguna Jasa
Nasabah
Anggota
2
Pemilik Usaha
Badan / anggota pendiri
Anggota
3
Penerima pendapatan
Anggota pendiri proporsional dengan jasa mereka dalam usaha tersebut
Anggota sesuai dengan jasanya
4
Pihak yang bertanggung jawab atas kerugian usaha
Anggota pendiri
Anggota, terbatas pada jumlah modal yang diberikan

C.     Manajemen Resiko pada BMT/ KJKS
Manajemen risiko menurut Bank Indonesia adalah serangkaian prosedur dan metoda yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha Lembaga Keuangan. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa manajemen risiko merupakan suatu tindakan mengidentifikasi risiko-risiko secara terencana dan terukur, dan mempersiapkan berbagai pendekatan untuk mengendalikannya agar tujuan bisnis yang telah ditetapkan dapat tercapai.[3] Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa manajemen risiko merupakan sistem yang digunakan untuk mengelola risiko yang dihadapi dan mengendalikan risiko tersebut agar tidak merugikan.
Bisnis perbankan merupakan bisnis penuh risiko. Pada satu sisi bisnis ini menjanjikan keuntungan besar apabila dikelola secara baik dan hati-hati. Sebaliknya, menjadi penuh risiko (full risk business) karena aktivitasnya sebagian besar mengandalkan dana titipan masyarakat, baik dalam bentuk tabungan, giro maupun deposito.
Menurut Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Dan Menengah Nomor : 91/Kep/M.KUKM/IX/2004, Pengendalian risiko dalam Pengelolaan Koperasi Jasa Keuangan Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah Syariah wajib memperhatikan azas-azas dan pembiayaan yang sehat dan menerapkan prinsip kehati-hatian serta pembiayaan yang benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penilaian atas kemampuan dan kesanggupan mitra/calon mitra yang dibiayai untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan wajib mempertimbangkan watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari mitra/calon mitra.
Tujuan manajemen risiko bagi lembaga keuangan syari’ah adalah:
a. Menyediakan informasi tentang risiko kepada pihak regulator.
b. Memastikan BMT tidak mengalami kerugian yang bersifat unnaccepetable.
c. Meminimalisasi kerugian dari berbagai risiko yang bersifat uncontrolled.
d. Mengukur eksposur dan pemusatan risiko.
e. Mengalokasi modal dan membatasi risiko.
Ø  Dalam kegiatan operasional BMT tentu tak lepas dari risiko-risiko yang akan dihadapinya, termasuk atas produk-produk yang ditawarkannya. Untuk menilai risiko-risiko tersebut didasarkan pada 3 aspek, yaitu:
1.      Bussiness Risk (Risiko Bisnis yang Dibiayai)
Adanya beberapa usaha yang mengalami risiko kemacetan atau tidak mendapatkan keuntungan tentu berpengaruh terhadap pendapatan BMT.
Biasanya risiko ini dipengaruhi oleh:
a.       Industry risk, yaitu risiko yang terjadi pada usaha yang ditentukan oleh
karakteristik masing-masing jenis usaha yang bersangkutan, seperti jenis usaha yang berpotensi mengalami kerugian atau hasil keuntungan yang tidak besar dengan menggunakan manajemen tradisional. Umumnya usaha dikelola oleh kalangan masyarakat yang manajemennya masih sangat sederhana tanpa laporan keuangan yang dilakukan secara rutin. Keadaan seperti ini menjadi permasalahan yang serius bagi BMT dalam mengeluarkan pembiayaan. Selain itu juga tergantung kinerja keuangan jenis usaha yang bersangkutan.
b.      Faktor negatif lainnya yang mempengaruhi perusahaan nasabah, seperti riwayat pembayaran atau tunggakan kewajiban (track record). Kondisi semacam ini menjadi ancaman yang tidak dapat diabaikan oleh pihak BMT karena seringkali dimanipulasi oleh pihak terkait untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat fatal bagi BMT. Adakalanya permasalahan seperti ini ditutup-tutupi supaya tetap terlihat sehat dari aspek manajemen agar keuntungan yang didapatkan BMT kecil atau agar mudah mendapatkan pembiayaan dari BMT.
2.      Shirking Risk (Risiko Berkurangnya Nilai Pembiayaan) BMT tentu akan menghadapi risiko ini karena sistem yang digunakan pada pembiayaan mudharabah adalah profit and loss sharing. Jadi apabila ada kerugian dari nasabah maka akan berpengaruh terhadap pendapatan BMT, sehingga hal itu berakibat terindikasinya risiko pada pembiayaan yang dibiayai. Biasanya risiko ini dipengaruhi oleh :
a.       Unusual business risk, yaitu risiko bisnis yang biasa terjadi pada pembiayaan yang diakibatkan adanya penurunan drastis tingkat penjualan bisnis yang dibiayai atau harga jual barang/jasa dari bisnis yang dibiayai.
b.       Jenis bagi hasil yang dilakukan, apakah profit and loss sharing atau revenue sharing. Untuk jenis profit and loss sharing, shirking risk (risiko berkurangnya nilai pembiayaan) muncul bila terjadi loss sharing kerugian usaha nasabah yang harus ditanggung BMT. Untuk jenis revenue sharing, shirking risk terjadi bila nasabah tidak mampu menanggung biaya yang seharusnya ditanggung nasabah dikarenakan nasabah tidak mampu melanjutkan usahanya.
 Secara spesifik risiko pembiayaan terletak pada proyek atau usaha yang dibiayai tidak menghasilkan keuntungan, yang pada akhirnya menyebabkan nasabah tidak dapat berbagi-hasil (keuntungan) dengan BMT. Kurang lancarnya usaha nasabah juga dapat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian nasional yang kurang stabil dan adanya force majeure seperti musim hujan yang berkepanjangan (terkait dengan karakteristik usaha seperti pertanian, perikanan, dan semacamnya) atau bencana alam (seperti kebakaran, gempa bumi, dll) yang menyebabkan musnahnya usaha nasabah.
3.      Character Risk (Risiko Karakter Buruk Nasabah/Anggota) Seperti halnya pada usaha perbankan, di BMT juga terkadang terdapat nasabah/anggota yang melakukan wanprestasi (ingkar janji). Tentunya ini merupakan masalah serius yang harus segera diselesaikan. Risiko ini biasanya dipengaruhi oleh:
a.       Kelalaian nasabah/anggota pembiayaan dalam menjalankan bisnis yang dibiayai.
b.      Pelanggaran ketentuan yang telah disepakati sehingga nasabah/anggota tidak lagi menjalankan kesepakatan yang telah dibuat.
c.        Pengelolaan internal perusahaan (seperti manajemen organisasi, pemasaran, teknis produksi dan keuangan) yang tidak dilakukan secara profesional sesuai standar pengelolaan yang disepakati antara pihak BMT dengan nasabah/anggota.
Selain itu masalah atau risiko pada pembiayaan ini adalah ketika adanya penunggakan pelunasan cicilan pembayaran. Hal ini memungkinkan pihak BMT mengeksekusi atau mengambil kembali barang yang sudah dibeli dan digunakan oleh nasabah/anggota, lalu BMT menjual kembali dengan harga jual yang lebih kecil dari harga beli, sehingga BMT akan mengalami kerugian dari pembiayaan (khususnya murabahah) ini.
Hal-hal tersebut mengindikasikan bahwa pada pembiayaan produktif rentan dengan risiko. Kemungkinan BMT akan mengalami kondisi dimana pendapatan keuntungan atau bagi hasil dari sebuah pembiayaan akan berkurang atau terjadi kerugian bagi pihak BMT. Investasi/bisnis yang dijalankan melalui aktifitas pembiayaan adalah aktifitas yang selalu berkaitan dengan risiko. Persoalannya adalah bagaimana mengelola agar investasi/bisnis dalam pembiayaan tersebut mengandung risiko seminimal mungkin. Risiko pembiayaan tersebut dapat diminimalisir dengan melakukan manajemen risiko secara baik.[4]
Upaya-upaya yang dilakukan BMT   untuk meminimalisir risiko kerugian adalah sebagai berikut:
1.      Melihat karakter nasabah/anggota peminjam.
2.      Penetapan penyerahan dokumen terkait persyaratan yang  ada di BMT  beserta perjalanan usaha anggota.
3.      Mendayagunakan survey sebagai bahan acuan utama pencegahan resiko.
4.      Memaksimalkan kemampuan berkomunikasi marketing maupun surveyor mengolah informasi tentang nasabah/anggota.
5.       Memberikan toleransi bila pembiayaan cenderung macet, agar pembiayaan tersebut dapat dilunasi sesuai kemampuan nasabah/anggota.
6.      Selalu mengingatkan nasabah peminjam agar melunasi pembiayaan yang diperolehnya
7.      Pemantauan penggunaan dana oleh nasabah/anggota supaya tidak melenceng dari akad semula.
8.       Semua pihak mulai marketing sampai manajer bertanggung jawab atas risiko yang akan terjadi.
9.       Kemudian ada jaminan yang dijadikan tanggungan, sebagai wujud tanggung jawab anggota selama proses pembiayaan.







 IV.            KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa manajemen risiko merupakan sistem yang digunakan untuk mengelola risiko yang dihadapi dan mengendalikan risiko tersebut agar tidak merugikan.
Bisnis perbankan merupakan bisnis penuh risiko. Pada satu sisi bisnis ini menjanjikan keuntungan besar apabila dikelola secara baik dan hati-hati. Sebaliknya, menjadi penuh risiko (full risk business) karena aktivitasnya sebagian besar mengandalkan dana titipan masyarakat, baik dalam bentuk tabungan, giro maupun deposito.
Menurut Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Dan Menengah Nomor : 91/Kep/M.KUKM/IX/2004, Pengendalian risiko dalam Pengelolaan Koperasi Jasa Keuangan Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah Syariah wajib memperhatikan azas-azas dan pembiayaan yang sehat dan menerapkan prinsip kehati-hatian serta pembiayaan yang benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penilaian atas kemampuan dan kesanggupan mitra/calon mitra yang dibiayai untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan wajib mempertimbangkan watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari mitra/calon mitra.
    V.            PENUTUP
Demikian telah selesailah penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan dan masih jauh dari kesempurnaan karna kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Namun penulis berharap semoga makalah ini berguna dan bermanfaat bagi diri penulis dan pembaca. Amiin





DAFTAR PUSTAKA

Karim, A Adiwarman. 2007. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Taswan, 2006. Manajemen Perbankan, Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Soemitro ,Andri . 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta : Kencana Prenadamedia Group.
http//atom/Something from My Mind_ Tinjauan Manajemen Risiko dalam (BMT) dengan bentuk kjks.html






[1] http//atom/Something from My Mind_ Tinjauan Manajemen Risiko dalam (BMT) dengan bentuk kjks.html
[2] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2009.hal :451
[3] Taswan, Manajemen Perbankan, Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2006, hlm. 296.
[4] Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 265

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi Harus Bagaimana