BAITUL MAL WAT TAMWIL
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Dosen Pengampu : Rahman El- Junusi

Disusun oleh :
Anik Misrofah 122411058
FAKUTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
Perkembangan
ekonomi Islam di Indonesia dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup
pesat. Berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang secara teknik menggunakan
prinsip-prinsip syariah merupakan salah satu proses untuk membangun sistem
ekonomi Islam baik dalam skala mikro maupun makro. Dilihat dari segi kedudukan
dan perannya, lembaga keuangan syariah sejenis bank syariah, BMT dan Asuransi
Tafakul di Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat sehingga dapat memberi
peran yang lebih maksimal dan memberi daya tawar positif untuk mempercepat pertumbuhan
ekonomi nasional.Dilihat dari sisi jumlah, perkembangan lembaga keuangan
syariah masih akan tetap menunjukkan pertumbuhan yang tinggi di masa depan. Hal
ini disebabkan pertumbuhan yang ada sekarang pada hakikatnya belum maksimal
secara kuantitatif.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa
pengertian dari BMT?
2.
Apa saja
perbedaan BMT dan KJKS?
3.
Apa
saja Manajemen Resiko pada BMT/ KJKS?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
BMT
BMT dengan bentuk jasa koperasi sebagai salah satu Lembaga Keuangan
Bukan Bank (LKBB) yang diatur keberadaannya melalui undang-undang, KJKS mempunyai
usaha inti dan bergerak dalam kegiatan simpan pinjam. Mengumpulkan dana dari
masyarakat berupa jasa simpan pinjam yang memberikan jasa pembiayaan dengan segmentasi khusus masyarakat
pada skala usaha dan kebutuhan konsumsi klasifikasi menengah kecil.[1]
Praktek usaha Koperasi yang dikelola secara syariah telah tumbuh
dan berkembang di masyarakat serta mengambil bagian penting dalam memberdayakan
ekonomi masyarakat. Di masyarakat telah bermunculan BMT yang bernaung dalam
kehidupan payung hukum koperasi. Hal inilah yang mendorong Menteri Negara
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah untuk menerbitkan Surat Keputusan Nomor
91/kep/MKUKM/IX/2004.
Berdasarkan
ketentuan yang disebut Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) adalah koperasi
yang kegiatan usahanya bergerak dibidang pembiayaan, investasi dan simpanan
sesuai pola bagi hasil (syariah). Dengan demikian semua BMT yang ada di
Indonesia dapat digolongkan dalam KJKS, mempunyai payung Hukum dan Legal
kegiatan operasionalnya asal saja memenuhi ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Ø BMT adalah kependekan kata Balai Usaha Mandiri Terpadu atau Baitul
Mal wat Tamwil, yaitu lembaga keuangan mikro (LKM) yang beroperasi berdasarkan
prinsip-prinsip syariah. BMT sesuai namanya sendiri dari dua fungsi utama
yaitu:
a.
Baitul
tamwil (rumah pengembangan harta), melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha
produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan
kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan
kegiatan ekonomi.
b.
Baitul
mal (rumah harta), menerima titipan dana zakat, infak, dan sedekah serta
mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
Baitul mal wat
tamwil (BMT) adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt
al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha produktif dan
investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil bawah
dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabun dan menunjang
pembiayaan kegiatan ekonominya. Selain itu, Baitul Mal wat Tamwil juga bisa
menerima titipan zakat, infak,dan sedekah, serta menyalurkannya sesuai dengan
peraturan dan amanatnya.
Dengan
demikian, keberadaan BMT dapat dipandang memiliki dua fungsi utama yaitu
sebagai media penyalur pendayagunaan harta ibadah seperti zakat, infaq,
sedekah, dan wakaf serta dapat pula berfungsi sebagai institusi yang bergerak
di bidang investasi yang bersifat produktif sebagaimana layaknya bank. Pada
fungsi ke dua ini dapat dipahami bahwa selain berfungsi sebagai lembaga
keuangan, BMT juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga keuangan
BMT bertugas menghimpun dana dari masyarakat (anggota BMT) yang memercayakan
dananya disimpan di BMT dan menyalurkan dana kepada masyarakat (anggota BMT)
yang diberikan pinjaman oleh BMT.[2]
B.
Perbedaan kegiatan BMT dan Koperasi
Adanya konversi dari BMT menjadi badan hukum Koperasi menimbulkan
suatu konsekuensi yuridis yaitu ideologi-ideologi Koperasi harus diterapkan
dalam segala aspek kegiatan yang dijalankan oleh Koperasi tersebut. Dengan
diterapkannya ideologi-ideologi Koperasi dalam kehidupan BMT yang berkonverasi
menjadi Koperasi menandakan bahwa lembaga tersebut telah menjadi apa yang
dimaksud dengan Koperasi secara utuh. Ideologi merupakan kerangka berpikir yang
nantinya akan mendasari perbuatan-perbuatan yang akan dilaksanakan kedepannya,
sehingga apabila suatu lembaga telah menganut ideologi Koperasi, maka nantinya lembaga
tersebut akan melakukan perbuatan-perbuatan yang seharusnya dan selayaknya
dilakukan oleh Koperasi sehingga lembaga tersebut dapat disebut sebagai suatu
Koperasi.
Perbedaan kegiatan usaha yang dilakukan BMT dan Koperasi
NO
|
Perbedaannya
|
BMT
|
Koperasi
|
1
|
Pengguna Jasa
|
Nasabah
|
Anggota
|
2
|
Pemilik Usaha
|
Badan / anggota pendiri
|
Anggota
|
3
|
Penerima pendapatan
|
Anggota pendiri proporsional dengan jasa mereka dalam usaha
tersebut
|
Anggota
sesuai dengan jasanya
|
4
|
Pihak yang bertanggung jawab atas kerugian usaha
|
Anggota pendiri
|
Anggota, terbatas pada jumlah modal yang diberikan
|
C.
Manajemen
Resiko pada BMT/ KJKS
Manajemen risiko menurut Bank Indonesia adalah serangkaian prosedur
dan metoda yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan
risiko yang timbul dari kegiatan usaha Lembaga Keuangan. Dari pengertian
tersebut dapat dikatakan bahwa manajemen risiko merupakan suatu tindakan
mengidentifikasi risiko-risiko secara terencana dan terukur, dan mempersiapkan
berbagai pendekatan untuk mengendalikannya agar tujuan bisnis yang telah
ditetapkan dapat tercapai.[3]
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa manajemen risiko
merupakan sistem yang digunakan untuk mengelola risiko yang dihadapi dan
mengendalikan risiko tersebut agar tidak merugikan.
Bisnis perbankan merupakan bisnis penuh risiko. Pada satu sisi
bisnis ini menjanjikan keuntungan besar apabila dikelola secara baik dan
hati-hati. Sebaliknya, menjadi penuh risiko (full risk business) karena
aktivitasnya sebagian besar mengandalkan dana titipan masyarakat, baik dalam
bentuk tabungan, giro maupun deposito.
Menurut Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Dan Menengah
Nomor : 91/Kep/M.KUKM/IX/2004, Pengendalian risiko dalam Pengelolaan Koperasi
Jasa Keuangan Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah Syariah wajib memperhatikan
azas-azas dan pembiayaan yang sehat dan menerapkan prinsip kehati-hatian serta
pembiayaan yang benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penilaian atas
kemampuan dan kesanggupan mitra/calon mitra yang dibiayai untuk melunasi
kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan wajib mempertimbangkan watak,
kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari mitra/calon mitra.
Tujuan manajemen risiko bagi lembaga keuangan syari’ah adalah:
a. Menyediakan informasi tentang risiko kepada pihak regulator.
b. Memastikan BMT tidak mengalami kerugian yang bersifat unnaccepetable.
c. Meminimalisasi kerugian dari berbagai risiko yang bersifat uncontrolled.
d. Mengukur eksposur dan pemusatan risiko.
e. Mengalokasi modal dan membatasi risiko.
Ø Dalam kegiatan operasional BMT tentu tak lepas dari risiko-risiko
yang akan dihadapinya, termasuk atas produk-produk yang ditawarkannya. Untuk menilai
risiko-risiko tersebut didasarkan pada 3 aspek, yaitu:
1.
Bussiness
Risk (Risiko Bisnis yang Dibiayai)
Adanya
beberapa usaha yang mengalami risiko kemacetan atau tidak mendapatkan
keuntungan tentu berpengaruh terhadap pendapatan BMT.
Biasanya
risiko ini dipengaruhi oleh:
a.
Industry
risk, yaitu risiko yang terjadi pada usaha yang ditentukan oleh
karakteristik
masing-masing jenis usaha yang bersangkutan, seperti jenis usaha yang
berpotensi mengalami kerugian atau hasil keuntungan yang tidak besar dengan
menggunakan manajemen tradisional. Umumnya usaha dikelola oleh kalangan
masyarakat yang manajemennya masih sangat sederhana tanpa laporan keuangan yang
dilakukan secara rutin. Keadaan seperti ini menjadi permasalahan yang serius
bagi BMT dalam mengeluarkan pembiayaan. Selain itu juga tergantung kinerja
keuangan jenis usaha yang bersangkutan.
b.
Faktor
negatif lainnya yang mempengaruhi perusahaan nasabah, seperti riwayat
pembayaran atau tunggakan kewajiban (track record). Kondisi semacam ini menjadi
ancaman yang tidak dapat diabaikan oleh pihak BMT karena seringkali
dimanipulasi oleh pihak terkait untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat
fatal bagi BMT. Adakalanya permasalahan seperti ini ditutup-tutupi supaya tetap
terlihat sehat dari aspek manajemen agar keuntungan yang didapatkan BMT kecil
atau agar mudah mendapatkan pembiayaan dari BMT.
2.
Shirking
Risk (Risiko Berkurangnya Nilai Pembiayaan) BMT tentu akan menghadapi risiko
ini karena sistem yang digunakan pada pembiayaan mudharabah adalah profit and
loss sharing. Jadi apabila ada kerugian dari nasabah maka akan berpengaruh
terhadap pendapatan BMT, sehingga hal itu berakibat terindikasinya risiko pada
pembiayaan yang dibiayai. Biasanya risiko ini dipengaruhi oleh :
a.
Unusual
business risk, yaitu risiko bisnis yang biasa terjadi pada pembiayaan yang
diakibatkan adanya penurunan drastis tingkat penjualan bisnis yang dibiayai
atau harga jual barang/jasa dari bisnis yang dibiayai.
b.
Jenis bagi hasil yang dilakukan, apakah profit
and loss sharing atau revenue sharing. Untuk jenis profit and loss sharing,
shirking risk (risiko berkurangnya nilai pembiayaan) muncul bila terjadi loss
sharing kerugian usaha nasabah yang harus ditanggung BMT. Untuk jenis revenue
sharing, shirking risk terjadi bila nasabah tidak mampu menanggung biaya yang seharusnya
ditanggung nasabah dikarenakan nasabah tidak mampu melanjutkan usahanya.
Secara spesifik risiko
pembiayaan terletak pada proyek atau usaha yang dibiayai tidak menghasilkan
keuntungan, yang pada akhirnya menyebabkan nasabah tidak dapat berbagi-hasil
(keuntungan) dengan BMT. Kurang lancarnya usaha nasabah juga dapat dipengaruhi
oleh kondisi perekonomian nasional yang kurang stabil dan adanya force majeure
seperti musim hujan yang berkepanjangan (terkait dengan karakteristik usaha
seperti pertanian, perikanan, dan semacamnya) atau bencana alam (seperti kebakaran,
gempa bumi, dll) yang menyebabkan musnahnya usaha nasabah.
3.
Character
Risk (Risiko Karakter Buruk Nasabah/Anggota) Seperti halnya pada usaha
perbankan, di BMT juga terkadang terdapat nasabah/anggota yang melakukan
wanprestasi (ingkar janji). Tentunya ini merupakan masalah serius yang harus
segera diselesaikan. Risiko ini biasanya dipengaruhi oleh:
a.
Kelalaian
nasabah/anggota pembiayaan dalam menjalankan bisnis yang dibiayai.
b.
Pelanggaran
ketentuan yang telah disepakati sehingga nasabah/anggota tidak lagi menjalankan
kesepakatan yang telah dibuat.
c.
Pengelolaan internal perusahaan (seperti
manajemen organisasi, pemasaran, teknis produksi dan keuangan) yang tidak
dilakukan secara profesional sesuai standar pengelolaan yang disepakati antara
pihak BMT dengan nasabah/anggota.
Selain itu masalah atau risiko pada pembiayaan ini adalah ketika
adanya penunggakan pelunasan cicilan pembayaran. Hal ini memungkinkan pihak BMT
mengeksekusi atau mengambil kembali barang yang sudah dibeli dan digunakan oleh
nasabah/anggota, lalu BMT menjual kembali dengan harga jual yang lebih kecil
dari harga beli, sehingga BMT akan mengalami kerugian dari pembiayaan (khususnya
murabahah) ini.
Hal-hal
tersebut mengindikasikan bahwa pada pembiayaan produktif rentan dengan risiko.
Kemungkinan BMT akan mengalami kondisi dimana pendapatan keuntungan atau bagi
hasil dari sebuah pembiayaan akan berkurang atau terjadi kerugian bagi pihak
BMT. Investasi/bisnis yang dijalankan melalui aktifitas pembiayaan adalah aktifitas
yang selalu berkaitan dengan risiko. Persoalannya adalah bagaimana mengelola
agar investasi/bisnis dalam pembiayaan tersebut mengandung risiko seminimal
mungkin. Risiko pembiayaan tersebut dapat diminimalisir dengan melakukan
manajemen risiko secara baik.[4]
Upaya-upaya yang dilakukan BMT
untuk meminimalisir risiko kerugian
adalah sebagai berikut:
1.
Melihat
karakter nasabah/anggota peminjam.
2.
Penetapan
penyerahan dokumen terkait persyaratan yang
ada di BMT beserta perjalanan
usaha anggota.
3.
Mendayagunakan
survey sebagai bahan acuan utama pencegahan resiko.
4.
Memaksimalkan
kemampuan berkomunikasi marketing maupun surveyor mengolah informasi tentang
nasabah/anggota.
5.
Memberikan toleransi bila pembiayaan cenderung
macet, agar pembiayaan tersebut dapat dilunasi sesuai kemampuan
nasabah/anggota.
6.
Selalu
mengingatkan nasabah peminjam agar melunasi pembiayaan yang diperolehnya
7.
Pemantauan
penggunaan dana oleh nasabah/anggota supaya tidak melenceng dari akad semula.
8.
Semua pihak mulai marketing sampai manajer
bertanggung jawab atas risiko yang akan terjadi.
9.
Kemudian ada jaminan yang dijadikan
tanggungan, sebagai wujud tanggung jawab anggota selama proses pembiayaan.
IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan
penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa manajemen risiko merupakan sistem
yang digunakan untuk mengelola risiko yang dihadapi dan mengendalikan risiko
tersebut agar tidak merugikan.
Bisnis perbankan merupakan bisnis penuh risiko. Pada satu sisi
bisnis ini menjanjikan keuntungan besar apabila dikelola secara baik dan
hati-hati. Sebaliknya, menjadi penuh risiko (full risk business) karena
aktivitasnya sebagian besar mengandalkan dana titipan masyarakat, baik dalam
bentuk tabungan, giro maupun deposito.
Menurut
Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Dan Menengah Nomor :
91/Kep/M.KUKM/IX/2004, Pengendalian risiko dalam Pengelolaan Koperasi Jasa
Keuangan Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah Syariah wajib memperhatikan
azas-azas dan pembiayaan yang sehat dan menerapkan prinsip kehati-hatian serta
pembiayaan yang benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penilaian atas
kemampuan dan kesanggupan mitra/calon mitra yang dibiayai untuk melunasi
kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan wajib mempertimbangkan watak, kemampuan,
modal, agunan dan prospek usaha dari mitra/calon mitra.
V.
PENUTUP
Demikian telah selesailah penulisan makalah ini, penulis menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan dan masih jauh dari
kesempurnaan karna kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Namun penulis berharap
semoga makalah ini berguna dan bermanfaat bagi diri penulis dan pembaca. Amiin
DAFTAR PUSTAKA
Karim,
A Adiwarman. 2007. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Taswan,
2006. Manajemen Perbankan, Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Soemitro
,Andri . 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group.
http//atom/Something from My Mind_ Tinjauan Manajemen Risiko
dalam (BMT) dengan bentuk kjks.html
[1]
http//atom/Something from My Mind_ Tinjauan Manajemen Risiko dalam (BMT) dengan
bentuk kjks.html
[2] Andri
Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group, 2009.hal :451
[3] Taswan, Manajemen
Perbankan, Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2006, hlm. 296.
[4]
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007, hlm. 265
Tidak ada komentar:
Posting Komentar