Sabtu, 22 Desember 2018

Makalah Tentang Puasa


PUASA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah  Fiqh ( Ibadah )

Dosen Pengampu   : A. Turmudzi, SH. M.Ag.
nenganik.blogspot.com

   
           
                             FAKUTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
                        INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
         SEMARANG
   2013

I.                   PENDAHULUAN
Puasa (saumu), menurut bahasa Arab adalah “ menahan dari segala sesuatu”, seperti menahan makan, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya. Menurut istilah agama islam yaitu “menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat dan beberapa syarat. Puasa merupakan dasar praktis dan teoritis bagi sisi pengendalian diri untuk menjalankan perintah Allah. Allah SWT menetapkan kunci masuk surga terletak dalam masalah mengendalikan diri. Selain mengendalikan diri dari syahwat-syahwat yang diharamkan dan dorongan-dorongan terlarangnya, mengendalikan diri juga untuk menetapi akhlak yang agung dan baik.
Adapun macam-macam puasa ditinjau dari hukumnya, puasa bisa diklasifikasikan menjadi puasa wajib, puasa sunah, puasa haram, dan puasa makruh. Puasa wajib. Untuk melaksanakan puasa baik puasa wajib ataupun sunnah mempunyai syarat -syarat dan juga rukunnnya. Puasa wajib merupakan puasa yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat islam di dunia. Sebagaimana kita ketahui bahwa puasa yang dihukumi wajib adalah merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan dan apabila puasa wajib ditinggalkan atau tidak dilaksanakan maka akan mendapat dosa.
Diwajibkannya puasa atas umat Islam mempunyai hikmah yang dalam yakni merealisasikan ketaqwaan kepada Allah SWT.  Puasa mempunyai banyak faedah bagi rohani dan jasmani kita. Ibadah puasa juga banyak mengandung aspek sosial, karena lewat ibadah ini kaum muslimin ikut merasakan penderitaan orang lain yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya seperti yang lain. Ibadah puasa juga menunjukkan bahwa orang-orang beriman sangat patuh kepada Allah karena mereka mampu menahan makan atau minum dan hal-hal yang membatalkan puasa.



II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana Pengertian Puasa?
B.     Bagaimana Pensyariatan Puasa Dalam Islam?
C.     Apa Saja Jenis-Jenis Puasa ?
D.    Apa Saja Rukun-Rukun Puasa?
E.     Apah Saja Hal Yang Membatalkan Puasa?
F.      Apa Hikmah Dan Filosofi Dari Puasa?

III.              PEMBAHASAN
A.     Pengertian Puasa
Puasa (saumu), menurut bahasa Arab adalah “ menahan dari segala sesuatu”, seperti menahan makan, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya. Menurut istilah agama islam yaitu “menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat dan beberapa syarat.
Firman Allah SWT :
وَكُلُوْا وَاشَرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الّْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ (البقرة : ١٨٧)  
“makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah :187)[1]
B.     Pensyariatan Puasa Dalam Islam
Berikut ini adalah hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan puasa.
1.      Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
“(Allah Berfirman) ‘setiap amal anak adam adalah untuknya, kecuali puasa karena sesungguhnya puasa itu untukku dan aku akan membalasnya.’
Puasa adalah tameng (dari neraka). Apabila seseorang berada  dalam keadaan puasa, janganlah ia berkata kotor, janganlah ia berteriak, dan janganlah ia bertindak bodoh. Jika seseorang mencelanya atau ingin bertengkar dengannya, hendaklah ia berkata, ‘sesungguhnya aku sedang puasa,’ dua kali.
Demi Zat yang jiwa Muhammad berada didalam genggaman-Nya, sesungguhnya bau tidak sedap mulut orang yang berpuasa lebih wangi menurut Allah di Hari Kiamat daripada minyak misik. Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan : (1) apabila berbuka, ia gembira dengan bukanya, dan (2) apabila bertemu dengan Tuhannya, ia gembira dengan puasanya.”
2.      Abu Umamah berkata, “Aku mendatangi Rasulullah. Aku berkata, ‘perintahkanlah aku untuk melakukan amal yang dapat memasukanku kedalam surga.’ Beliau bersabda,
عَلَيْكَ بِاالصَوْمِ فَإِنَّهُ لاَ عِدْلَ لَهُ.
‘Puasalah, karena sesungguhnya tidak ada (pahala ibadah) yang dapat menyamai puasa.’
Aku mendatangi beliau kedua kalinya. Beliau bersabda,
‘Puasalah.’
3.      Di dalam versi ayat yang lain Nabi saw. bersabda, 
“Puasa adalah tameng. Apabila salah seorang diantara kalian berpuasa, janganlah ia berkata kotor dan janganlah ia bertindak bodoh. Apabila seeorang ingin bertengkar dengannya atau mencaci makinya, hendaklah ia berkata, ‘sesungguhnya aku sedang berpuasa.’ Dua kali.
Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya bau tidak sedap dari mulut orang yang berpuasa adalah lebih wangi disisi Allah daripada bau minyak misik. (Allah Berfirman) ‘ia menonggalkan makanannya, minumannya, dan syahwatnya untuk-Ku dan Aku akan membalasnya. Setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya.”[2]

C.     Jenis-Jenis Puasa
1.      Puasa Wajib
Puasa Wajib dibagi menjadi 3 yaitu : Puasa Ramadhan, Puasa Kafarat dan Puasa Nadzar.
a)      Puasa Ramdhan
Puasa pada bulan Ramadhan itu merupakan salah satu dari rukun islam yang lima, diwajibkan pada tahun kedua hijriyah, yaitu tahun kedua sesudahNabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah. Hukumnya fardlu ‘ain atas tiap-tiap mukallaf (Baligh dan berakal). Puasa Ramadhan adalah wajib berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’.
Allah swt. Berfirman, :
“wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah [2]: 183)
“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itlu dan pembeda (Antara yang benar dan yang bathil). Karena itu, barang siapa diantara kamu ada dibulan itu, maka berpuasalah.” (Al-Baqarah [2]: 185)
Dalil yang berlandaskan As-Sunnah adalah sabda Nabi saw.,
“Islam didirikan atas lima perkara : (1) persaksian bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan shalat, (3) membayar zakat, (4) puasa Ramadhan, (5) dan melaksanakan haji.”
b)      Puasa Kafarat
Puasa kaffarat ialah puasa yang wajib ditunaikan karena berbuka dengan sengaja dalam melaksanakan puasa bulan ramadhan (dalam hal ini ada khilaf), bukan karena sesuatu ‘udzur yang dibenarkan syara akan tetapi diantaranya karena bersetubuh dengan sengaja bagi suami istri dibulan Ramadhan disiang hari ketika dalam melaksanakan puasa,  karena membunuh dengan tidak sengaja, karena mengerjakan Sesuatu yang diharamkan dalam haji, serta tidak sanggup menyembelih binatang hadyu; karena merusak sumpah dan berdhihar terhadap isteri.
c)      Puasa Nadzar
Puasa nadzar ialah puasa wajib yang difardlukan sendiri oleh seseorang muslim atas dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Puasa nadzar wajib ditunaikan menurut nazarnya. Contoh, kalau saya lulus ujian dikampus, saya bernadzar, atau saya berniat akan berpuasa selama tiga hari bulan ini, ketika saya lulus ujian,  puasa tersebut hukumnya wajib, artinya harus dilakukan”.
2.      Puasa Sunnah
a)      Puasa Enam Hari Dibulan Syawal
Abu Ayub al-Anshari ra. Meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ فَكَأَنَّمَا صَمَا لدَّهْرَ.
“Barang siapa yang berpuasa Ramdhan, kemudian menambahinya dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, seakan ia berpuasa sepanjang tahun[3].”
Menurut Ahmad, puasa enam hari tersebut boleh dilaksanakan secara beruntun dan boleh dilaksanakan secara tidak beruntun. Tidak ada yang lebih utama diantara kedua caraa tersebut.
Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah, yang lebih utama adalah melaksanakannya secara beruntun setelah hari raya.
b)      Puasa Sepuluh Hari Dibulan Dzulhijjah Dan Puasa Arafah Bagi Orang Yang Tak Berhaji
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Puasa hari Arafah dapat menghapus dosa-dosa dua tahun yang telah berlalu dan yang akan datang, dan puasa hari Asyura dapat menghapus dosa-dosa satu tahun yang telah berlalu.”
Abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah melarang puasa Arafah ketika seseorang berada di Arafah.”
Hafshah berkata, “Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah : (1) Puasa Asyura, (2) Puasa sepuluh hari (pada awal bulan Dzulhijjah), (3) Puasa tiga hari setiap bulan, (4) dan sholat dua rakaat sebelum subuh.”
c)      Puasa Pada Hari-Hari Tertentu Di Bulan Muharram
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. ditanya tentang sholat yang paling utama setelah shalat fardlu. Beliau menjawab,
اَلصَّلاَةُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ.
“Shalat pada waktu tengah malam.”
Beliau ditanya lagi, “kemudian apakah puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan?” Beliau menjawab,
شَهْرُ اللهِ الَّذِي تَدَّعُوْنَهُ الْمُحَّرَّمَ.
“Puasa pada bulan yang kalian sebut dengan Muharram.”
d)      Puasa Setiap Hari Senin Dan Kamis
عَنْ عَائِشَةَ كَانَ النَّبِىُّ صلعم يَتَحَرَّى صِيَامَ الْاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ. روه الترمذى
“Dari Aisyah, “Nabi Besar Saw. memilih waktu puasa hari senin dan hari kamis.”  Riwayat Tirmidzi
Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa beliau ditanya tentang puasa hari senin. Beliau menjawab,
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَأُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ.
“Itu adalah hari kelahiranku dan diturunkannya wahyu kepadaku.”
e)      Puasa Dibulan Sya’ban
Rasulullah saw. Memperbanyak ibadah puasa pada bulan Sya’ban. Aisyah ra. berkata, “Aku tidak melihat Rasulullah menyempurnakan puasa dalam suatu bulan, kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak melihat Beliau Sya’ban.”[4]
Mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban dengan puasa karena anggapan bahwa hari tersebut lebih utama daripada hari-hari lainnya adalah suatu hal yang tidak didukung oleh dalil yang benar.
f)        Puasa Dibulan Haram
Bulan-bulan haram (bulan-bulan yang dimuliakan) adalah Dzulqa’idah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Memperbanyak puasa pada bulan-bulan tersebut, merupakan suatu amal yang disunnahkan.
Seorang dari bahilah datang kepada Nabi saw. lalu berkata, “wahai Rasulullah, aku adalah orang yang datang kepadamu pada tahun pertama.” Beliau bersabda,
“Apa yang menyebabkan kamu berubah? Dulu kamu berpenampilan bagus.”
Ia berkata, “sejak aku berpisah denganmu, aku tidak pernah makan kecuali pada waktu malam.”
Rasulullah saw. bersabda,
“Mengapa kamu menyiksa dirimu sendiri?”
      Kemudian Beliau bersabda,
“berpuasalah pada bulan kesabaran (Ramadhan) dan satu hari dari setiap bulan.”
      Bulan Rajab tidak memiliki kelebihan atas bulan-bulan yang lain selain ia termasuk bulan haram. Tidak ada dalil yang benar yang menunjukkan bahwa puasa didalamnya memiliki keistimewaan khusus. Jika ada sesuatu yang dijadikan dalil atas hal tersebut, itu bukanlah argument yang sah.


g)      Puasa Tiga Hari Setap Bulan
Abu Dzar al-Gifari berkata, “Rasulullah memerintahkan kepada kami agar kami berpuasa pada tiga hari putih setiap bulan, yakni tanggal tigabelas, empatbelas, dan limabelas. Beliau bersabda bahwa puasa pada hari-hari tersebut adalah seperti puasa sepanjang tahun.”
Didalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Beliau berpuasa pada hari Sabtu, Ahad, dan Senin dalam satu bulan; dan berpuasa pada hari Selasa, Rabu, dan Kamis pada bulan yanglain. Beliau juga biasa berpuasa tiga hari pada setiap awal bulan, kemudian puasa hari Senin berikutnya dan Senin berikutnya lagi.
h)      Puasa Sehari Dan Berbuka Sehari Secara Berseling
Abdurrahman bin Amar berkata, “Rasulullah saw. bersabda kepadaku,
‘Aku telah mendapat informasi bahwa kamu selalu sholat pada waktu malam dan berpuasa pada waktu siang.’
Aku berkata, ‘Benar ya Rasul.’ Beliau bersabda,
‘puasa lah dan berbukalah, sholatlah dan tidurlah karena sesungguhnya jasadmu memiliki hak terhadapmu, istrimu memiliki hak terhadapmu, dan tamumu memiliki ha katas terhadapmu. Cukuplah kamu puasa tiga hari setiap bulan.’
3.      Puasa Haram
a)      Berpuasa Pada Hari Raya Idul Fitri Dan Idul Adha
Ulama telah sepakat haramnya berpuasa pada dua hari Id, baik puasa wajib maupun sunah. Ibnu Umar ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Melarang puasa pada dua hari ini. Adapun hari  Idul Fitri adalah waktu berbuka dari puasa (Ramadhan), dan hari Idul Adha adalah hari untuk menikmati hewan kurban.
b)      Berpuasa Pada Hari Tasyrik
Berpuasa pada tiga hari setelah hari nahar tidak diperbolehkan karena Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. mengutus Abdullah bin Hudzaifah untuk mengumumkan kepada manusia, “janganlah berpuasa pada hari-hari ini adalah untuk makan, minum dan dzikir kepada Allah.”
Ulama’ Madzhab Syafi’i memperbolehkan berpuasa pada hari-hari tasyrik jika ada suatu sebab, seperti puasa nadzar, puasa kafarat, puasa qadha. Adapun puasa yang sebabnya adalah tidak boleh. Dalam hal ini tidiak ada perselisihan ulama. Mereka menganalogikan masalah ini dengan sholat yang memiliki sebab yang dilakukan pada waktu-waktu terlarang.
c)      Berpuasa Pada Hari Jumat Secara Khusus
Hari Jum’at adalah hari raya umat Islam setiap sepekan. Oleh karena itu, agama islam melarang umatnya untuk berpuasa pada hari jum’at.
Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa larangan tersebut bersifat makruh bukan haram, kecuali jika seseorang berpuasa satu hari sebelumnya atau satu hari sesudahnya, puasa jum’at tersebut tersebut bertepatan dengan kebiasaan berpuasanya, atau bertepatan dengan hari Arafah atau hari Asyura. Ketika puasa hari jum’at dilakukan dengan kondisi seperti itu, maka hukumnya tidak makruh.



d)      Berpuasa Pada Hari Sabtu Secara Khusus
Ummu Salamah berkata, “Nabi berpuasa pada hari Sabtu dan pada hari Ahad secara lebih banyak daripada hari-hari yang lain. Beliau bersabda,
إِنَّهُمَا عِيْدُ الْمُشْرِكِيْنَ، فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أُخَالِفَهُمْ.
“sesungguhnya hari Sabtu dan hari Ahad adalah hari raya orang-orang Musyrik. Karena itu, aku ingin menyelisihi mereka.”
e)      Berpuasa Pada Hari Yang Diragukan Untuk Berpuasa
Ammar bin Yasir r.a. berkata, “barang siapa yang berpuasa pada hari syakk (hari yang diragukan untuk berpuasa), sesungguhnya ia telah mendurhakai Abu Qasim (Muhammad saw.).”
      Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika seseorang tetap berpuasa pada hari tersebt dan ternyata hari tersebut termasuk hari-hari Ramadhan, ia wajib menggantinya pada hari yang lain. Jika ia berpuasa pada hari itu karena bertepatan dengan kebiasaan puasanya, ia boleh berpuasa pada hari itu tanpa terhukumi makruh.
f)        Berpuasa Sepanjang Tahun
Diharamkan berpuasa sepanjang tahun tanpa ada istirahatnya karena Rasulullah saw. bersabda,
لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الْأَبَدَ.
“Tidak sah puasa orang yang berpuasa sepanjang waktu (berpuasa dahr).”
Jika ada orang yang nelakukan puasa sepanjang tahun, namun ia tidak berpuasa pada dua hari raya dan hari-hari tasyrik, hukum haram tidak berlaku lagi untuk-nya. Tirmidzi berkata, “Ulama membenci puasa seppanjang tahun jika puasa tersebut mencakup hari Idul Fitri, hari Idul Adha, dan hari-hari tasyrik.”
g)      Puasa Tanpa Izin Suami
Rasulullah melarang perempuan berpuasa saat suaminya ada, kecuali ia mendapat izin darinya. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda,
“janganlah perempuan berpuasa pada suatu hari, sementara suaminya ada, kecuali dengan izinnya; kecuali puasa Ramadhan.”
h)      Berpuasa Berhari-Hari Tanpa Diselingi Berbuka Ataupun Makan Sahur
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda,  
إِيَّا كُمْ وَالْوِصَالَ.
“janganlah kalian berpuasa wishal”
Beliau mengulangi sabda tersebut tiga kali. Para ahli fiqh mengartian larangan Nabi saw. tersebut dengan larangan yang bersifat makruh. Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Mundzir membolehkan puasa wishal sampai waktu sahur saja selama tidak memberatkan orang yang melakukannya.[5]

D.    Rukun Puasa
a.      Niat pada malamnya,
Yaitu, setiap malam selama bulan Ramadhan. Yang dimaksud dengan malam puasa ialah malam yang sebelum-sebelumnya.
Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الْصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ. رواه الخمسة

“Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malamnya sebelum fajar terbit, maka tiada puasa baginya.” (Riwayat Lima Orang Ahli Hadits)
Kecuali puasa sunnah, boleh berniat pada siang hari, asal sebelum zawal (matahari condong ke barat).
b.      Menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

E.     Hal-hal yang Membatalkan Puasa
a.             Makan dan minum.
      Makan dan minum yang membatalkan puasa ialah apabila dilakukan dengan sengaja. Kalu tidak sengaja, misalnya lupa, tidak membatalkan puasa.sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “ Barang siapa lupa, sedangkan ia dalam keadaan puasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah puasanya disempurnakan, karena sesungguhnya Allah-lah yang memberinya maka dan minum.”( Riwayat Bukhari dan Muslim).
Memasukkan seuatu kedalam lubang yang ada pada badan, seperti lubang telinga, hidung, dan sebagainya, menurut sebagian ulama sama dengan makan dan minum; artinya membatalkan puasa. Mereka mengambil alasan dengan Qiyas, diqiaskan (disamakan) dengan makan dan minum. Ulama yang lain berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan karena tidak dapat diqiaskan dengan makan dan minum. Menurut pendapat yang kedua itu, kemasukan air sewaktu mandi tidak membatalkan puasa, begitu juga memasukan obat melalui lubang badan selain mulut, suntik, dan sebagainya, tidak membatalkan puasa karena yang demikian tidak dinamakn makan dan minum.



b.       Muntah yang disengaja,
Muntah yang disengaja, sekalipun tidak ada yang kembali kedalam.  Muntah yang tidak disengaja tidaklah membatalkan puasa.
Sabda Rasulullah Saw: “ Dari Abu Hurairah. Rasulullah Saw telah berkata,” barangsiapa terpasksa muntah, tidaklah wajib mengqada puasanya;dan barang siapa yang mengusahakan muntah, maka hendaklah dia mengqada puasanya.” (Riwayat Abu Dawud, Tirmizi, dan Ibnu Hibban).

c.         Bersetubuh
       Firman Allah Swt:
اُخِلَّ لَكُمْ لَيْلَةُ صِّيَامِ الرَّفَثُ اِلَى نِسَاِ كُمْ. البقرة : ١٨٧
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu.” (Al-Baqarah: 187).
Laki-laki membatalkan puasanya dengan bersetubuh diwaktu siang hari dibulan Ramadhan, sedangkan dia berkewajiban puasa, maka ia wajib membayar kafarat.

d.      Keluar darah Haid (kotoran atau nifas (darah sehabis melahirkan).
 Dari Aisyah. Ia berkata,” kami disuruh oleh Rasulullah Saw. Mengqada puasa, dan tidak disuruhnya untuk mengqada salat.”

e.       Gila. Jika gilaitu dating waktu siang hari, batallah puasa.

  f.  Keluar mani dengan sengaja (karena bersentuhan dengan  perempuan /istri atau lainnya).
 Karena keluar mani itu adalah puncak yang dituju orang pada persetubuhan, maka hukumnya disamakan dengan bersetubuh. Adapun keluar mani karena bermimpi, mengkhayal dan sebagainya, tidak membatalkan puasa.

F.     Hikmah dan filosofi Puasa
a.      Hikmah (rahasia) Puasa
Ibadah Puasa itu mengandung beberapa hikmah, diantaranya sebagai berikut :
1.      Tanda terima kasih kepada Allah karena semua ibadah mengandung arti terima kasih kepada Allah atas nikmat pemberian-Nya yang tidak terbatas banyaknya, dan tidak bernilai harganya.
2.      Didikan kepercayaan. Seseorang yang telah sanggup menahan makan dan mium dari harta yang halal kepunyaaan sendiri, karena ingat perintah Allah, sudah tentu ia tidak akan meninggalkan segala perintah Allah, dan tidak akan berani melanggar segala larangan-Nya.
3.      Didikan perasaan belas kasihan terhadap fakir-miskin karena seseorang yang telah merasa sakit dan pedihnya perut keroncongan. Hal itu dapat mengukur kesedihan dan kesusahan orang yang sepanjang masa merasakan ngilunya perut yang kelaparan karena ketiadaan. Dengan demikian, akan timbul perasaan belas kasihan dan suka menolong fakir miskin.
4.      Guna menjaga kesehatan.[6]

IV.              KESIMPULAN
Puasa (saumu), menurut bahasa Arab adalah “ menahan dari segala sesuatu”, seperti menahan makan, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat dan sebagainya. Menurut istilah agama islam yaitu “menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat dan beberapa syarat.
Pensyariatan puasa dalam islam yaitu berisi tentang keutamaan puasa yang mana Puasa adalah sebuah tameng (dari neraka) dan sebuah amal yang dapat memasukkan kita dalam surga Allah. Macam-macan puasa telah terbagi menjadi tiga, yaitu puasa wajib, puasa sunnah, dan puasa haram. Dimana macam-macam puasa tersebut juga terbagi menjadi beberapa macam, seperti yang telah dipaparkan diatas.
Adapun niat merupakan bagian dari rukun puasa. Niat juga merupakan hal yang sangat penting yang juga harus diperhatikan. Sebagaimana sabda Nabi Nabi saw  yang diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan: “ sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung kepada niat, dan setiap manusia hanya memperoleh menurut apa yang diniatkannya”. Niat juga bisa dikatakan suatu pembeda antara untuk melaksanakan ibadah ataupun hanya sekedar kebiasaan. Ada beberapa hal yang juga dapat membatalkan puasa seperti, makan atau minum, muntah dengan sengaja, bersetubuh, keluar darah haid, gila, dan keluar mani dengan sengaja.
Dalam berpuasa juga memberikan hikmah tersendiri bagi yang menjalankannya, seperti tanda terima kasih kepada Allah, guna menjaga kesehatan, dan sebagai didikan.
V.                PENUTUP
Dari pemaparan diatas tentu tidak lepas dari kesalahan penulisan dan rangkaian kalimat. Dan saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan,oleh karena itu kami mengaharap kepada pembaca dan pembimbing mata kuliah ini dapat memberi kritik atau saran yang sifatnya membangun . Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan pelajaran kepada kita semua. Atas perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid, H. Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2013
Sabiq, Muhammad Sayyid, Fiqh Ibadah,  Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2009





[1][1] Rasjid, H. Sulaiman, Fiqh Islam (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2013),  hal. 220
[2] Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2009.hlm. 735-738
[3] Hal itu untuk orang yang berpuasa Ramadhan setiap tahun. Para ulama mengatakan bahwa setiap satu kebaikan dilipatgandakan pahalanya sepuluh kali lipat. Maka, puasa bulan Ramadhan menjadi sepuluh bulan dan puasa enam hari pada bulan syawal dilipatgandakan menjadi dua bulan. Jadi jumlahnya satu tahun.
[4] Diriwayatkan oleh nasa’I didalam sunan Nasa’I, kitab ash-shaum, bab Shaumi an-Nabi SAW, jilid IV, hlm. 201, hadits nomor 2357; Ahmad didalam musnad Ahmad, jilid V, hlm. 201; dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih ibni Khuzaimah, kitab ash-shiyam, bab Shifati Shaumi an-Nabi SAW, jilid III, hlm. 304-305.
[5] Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2009.hlm. 748-754 & 767-772
[6] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2013. Hlm. 230-233 & 243-244

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi Harus Bagaimana