Minggu, 09 Desember 2018

Etika dan Bisnis Ekonomi Islam


Makalah 
Etika dan Bisnis Islam



UIN WALISONGO

        I.            PENDAHULUAN
Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertolak titik pada allah, bertujuan akhir pada allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syari’at islam. Dan yang membedakan ekonomi islam dengan ekonomi konvensional adalah bahwa ekonomi islam tidak pernah memisahkan ekonomi dengan etika, sebagaimana tidak pernah memisahkan ilmu dengan akhlak, politik dengan etika , perang dengan etika dan kerabat sedarah sedaging dengan kehidupan islam. Bertolak dari pandangan seperti itu, maka yang bisa dilakukan adalah melaksanakan “Islamisasi” terhadap ilmu ekonomi yang sudah diterima pengertiannya sebagai universal itu. Hasilnya bisa melahirkan apa yang disebut  Sistem Ekonomi Islam, yang merupakan suatu bentuk pengaturan kegiatan ekonomi menurut prinsip-prinsip Islam.
.
     II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Kerangka konseptual etika bisnis?
B.     Konsepsi al-qur’an dan hadits tentang etika dan bisnis?
C.     Panduan  Rasulullah SAW  dalam etika bisnis?
 III.            PEMBAHASAN
A.    Kerangka konseptual etika bisnis.
Dalam realitasnya, bisnis baik sebagai aktifitas maupun sebagai entitas telah ada pada sistem dan strukturnya yang beku. Bisnis berjalan sebagai proses yang telah menjadi kegiatan manusia sebagai individu atau masyarakat untuk mencari keuntungan dan memenuhi keinginan dan kehidupan hidupnya. Sementara itu etika telah dipahami sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri dan karenanya terpisah dari bisnis. Etika adalah ilmu yang berisi patokan-patokan mengenai apa-apa yang benar atau salah,yang baik atau yang buruk, dan bermanfaat atau tidak bermanfaat. Dalam kenyataan itu, bisnis dan etika dipahami sebagai dua hal yang terpisah bahkan tidak ada kaitan. Jikapun malah ada dipandang sebagai hubungan negatif dimana, praktek bisnis merupakan kegiatan yang bertujuan mencapai tujuan bisnis.[1] Dengan demikian hubungan antara bisnis dan etika telah melahirkan hal yang problematis.
Problematika ini dibagi banyak pihak, termasuk para ahli ekonomi terletak pada adanya kesangsian mengenai ide etika bisnis. Pihak-pihak tersebut menyaksikan apakah moralitas mempunyai tempat dalam kegiatan bisnis.
Kegiatan bisnis atau sebuah perusahaan, dalam perilakunya tampak sudah demikian kuat terikat dengan struktur dan sistem yang kompleks. Dengan demikian secara petensial jauh dari persepsi kesadaran akan keterkaitannya dengan hakikat manusia sebagai perilaku yang merupakan bagian dari institusi-institusi perusahaan. Dari kesangsian-kesangsian itulah kemudian melahirkan mitos-mitos dalam hubungan etika dan bisnis. Mitos bisnis amoral, mitos bisnis imoral, mitos bisnis pengejar maksimalisasi keuntungan dan mitos bisnis sebagai permainan.[2]
Kedudukan etika dalam kajian filsafat merupakan pokok bahasan merupakan yang penting, selain persoalan metafisika, estetika,dan epistimologi. Dalam lingkup kajian filsafat, etika menjadi salah satu bagian pembahasan dalam bidan aksiologi. Hal yang dikaitkan karena etika membahas dan mempersoalkan tentang nilai.
Etika itu sendiri merupakan salah satu disiplin pokok dalam filsafat, ia merefleksikan bagaimana manusia harus hidup akan berhasil menjadi sebagai manusia. Etika (ethics) yang berasal dari bahasa yunani ethicos mempunyai beragam arti pertama, sebagai analisis konsep-konsep mengenai apa yang harus, mesti,tugas,aturan-aturan moral,benar,salah,wajib,tanggung jawab, dan lain-lain. Kedua pencarian kedalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, pencarian kehidupan yang baik secara moral. Pada kontek ini etika berisi tentang batasan-batasan yang mengenai apa yang benar dan apa yang salah, apa yang baik dan apa yang buruk. Ia merupakan filsafat moral atau filsafat menganai tingkah laku sebagai orientasi yang berisi sarana-sarana bagi usaha manusia untuk menjawab persoalan-persoalan fundamental.
Dalam hal ini, etika bisnis islam adalah merupakan hal yang penting dalam perjalanan sebuah aktivitas bisnis profesional. Sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Syahata, bahwa etika bisnis Islam mempunyai fungsi substansial yang membekali para pelaku bisnis, beberapa hal sebagai berikut :
1.      Membangun kode etik islami yang mengatur, mengembangkan dan menancapkan metode berbisnis dalam kerangka ajaran agama. Kode etik ini juga menjadi simbol arahan agar melindungi pelaku bisnis dari resiko.
2.        Kode ini dapat menjadi dasar hukum dalam menetapkan tanggungjawab para pelaku bisnis, terutama bagi diri mereka sendiri, antara komunitas bisnis, masyarakat, dan diatas segalanya adalah tanggungjawab di hadapan Allah SWT.
3.        Kode etik ini dipersepsi sebagai dokumen hukum yang dapat menyelesaikan persoalan yang muncul, daripada harus diserahkan kepada pihak peradilan.
4.       Kode etik dapat memberi kontribusi dalam penyelesaian banyak persoalan yang terjadi antara sesama pelaku bisnis dan masyarakat tempat mereka bekerja.
5.       Sebuah hal yang dapat membangun persaudaraan (ukhuwah) dan kerja sama antara mereka semua. 
Adapun penerapan etika bisnis dapat dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu; individual, organisasi, dan sistem. Pertama, pada tingkat individual, etika bisnis mempengaruhi  pengambilan keputusan seseorang atas tanggungjawab pribadinya dan kesadaran sendiri, baik sebagai penguasa maupun manajer. Kedua, pada tingkat organisasi, seseorang sudah terikat kepada kebijakan perusahaan  dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab sosialnya. Ketiga, pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban atau tindakan berdasarkan sistem etika tertentu. Realitasnya, para pelaku bisnis sering tidak mengindahkan etika. Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaan, emosi atau religiusitas hanya dipegang oleh pelaku bisnis yang kurang berhasil dalam berbisnis. Sementara para pelaku bisnis yang sukses memegang prinsip-prinsip bisnis yang tidak bermoral, misalnya maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan, dan manajemen konflik[3].
Islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam. Realitasnya, para pelaku bisnis sering tidak mengindahkan etika. Para pelaku bisnis yang sukses memegang prinsip-prinsip bisnis yang tidak bermoral, misalnya maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan, dan manajemen konflik.
B.     Konsepsi Al-Qur’an dan Hadits Tentang Etika dan Bisnis
Paradigma adalah cara memandang sesuatu, atau model, teori ideal yang dari sudut pandang tertentu sebuah sesuatu fenomena dijelaskan. Paradigma merupakan suatu gugur pikir yang dijadikan sebagai cara pandang untuk memahami suatu secara utuh. Dengan demikian paradigma bisnis adalah gugusan pikir atau cara pandang tertentu yang dijadikan sebagai landasan bisnis baik sebagai aktivitas maupun sebagai entitas[4]. Paparan ini merupakan suatu paradigma yang berperspektif al-Quran, yakni paradigma bisnis yang dibangun dan dilandasi oleh aksioma-aksioma berikut ini.
1.      Kesatuan (unity)
kesatuan di sini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam tauhid yang memadukan keseluruan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi,politik,sosial,menjadi suatu “homogeneous whole” atau keseluruhan yang homogen,serta mementingkan konsep konsensistensi dan keteraturan yang menyeluruh. Dari konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.           
2.      Kesetimbangan (keadilan)
Kesetimbangan (aquiblirium) atau keadilan menggambarkan dimensi horizontal ajaran islam yang berhubungan dengan keseluruan harmoni pada alam semesta mencerminkan kesetimbangan yang harmonis.tatanan ini pula yang dikenal dengan sunnatullah.
3.      Kehendak bebas / Ikhtiyar
kehendak bebas merupakan kontribusi islam yang paling orisinal dalam filsafat sosial tentang konsep manusia “bebas” hanya Tuhan yang bebas,namun dalam batas-batas skema penciptaa-Nya manusia juga secara relatif mempunyai kebebasan. Manusia sebagai khalifah di muka bumi –sampai batas-batas tertentu_mempunyai kehendak terbebas untuk mengarahkan kehidupannya kepada tujuan pencapaian kesucian diri. Manusia di anugerahkan kehendak bebas (free will) untuk membimbing kehidupannya sebagai khalifah. Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini dalam bisnis,manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian,termasuk menepati atau mengingkarinya. Seorang muslim yang percaya pada kedendak Allah,akan memuliakan secara janii yang dibuatnya. Ia merupakan bagian kolektif dari masyarakan dan mengakui bahwa Allah meliputi kehidupan individual dan sosial. Dengan demikian kebebasan kehendak erat degan kesatuan dan kesetimbanga.
4.      Pertanggungjawaban
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan m`anusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggungjawaban tindakannya. Secara logis aksioma ini berhubungan erat dengan oksioma bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa yang dilakukan bebas manusia dengan pertanggungjawaban atas semua yang dilakukannya.
5.      Kebenaran-kebenaran dan kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalan,mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran.kebenaran adalah nilai kebenaran yang di anjurkan dan tidak bertengtangan dengan ajaran islam. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagai niat,sikap dan perilaku yang benar,yang meliputi proses akad (transaksi), proses mencari atau memperoleh komoditas, proses pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkKebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalan,mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran.kebenaran adalah nilai kebenaran yang di anjurkan dan tidak bertengtangan dengan ajaran islam. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagai niat,sikap dan perilaku yang benar,yang meliputi proses akad (transaksi), proses mencari atau memperoleh komoditas, proses pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan laba.
Sedangkan kebajikan adalah sikap ihsan, beneviolence  yang merupakan tindakan yang memberikan keuntungan bagi orang lain. Dalam pandangan islam sikap ini sangat dianjurkan. Aplikasinya, menurut al-ghazali terdapat tiga prinsip pengejawantahan kebajikan: pertama, menerima kelonggaran waktu kepada pihak terutang untuk membayar utangnya. Jika perlu mngurangi beban utangnya. Kedua menerima pen gembalian barang yang telah dibeli. Ketiga, membayar utang sebelum waktu penagihan tiba.
Termasuk kedalam keajikan dalam bisnis adalah sikap kesukarelaan dan keramahtamahan. Kesukarelaan dalam pengertian, sikap suka rela antara kedua belah pihak yang pihak melakukan teransaksi, kerjasama atau perjanjian bisnis. Kedua belah pihak sama-sama mempunyai hak pilih atas teransaksi dan tidak boleh bersegera memisahkan diri untuk menjaga jika ada ketik cocokan, bahkan pembatalan transaksi. Hal ini ditekankan untuk antara sesama pelaku atau mitra bisnis. Keramahtamahan merupakan sikap ramah, toleran  baik dalam menjual, membeli maupun  menagih. Ada pun kejujuran adalah sikap jujur dalam semua proses bisnis yang dilakukan tanpa adanya penipuan sedikitpun. Sikap ini dalam khazanah islam dapat dimaknai dengan amanah.
Ø  Visi Al-Qur’an tentang etika dan bisnis
Visi adalah kemampuan atau daya untuk melihat pada inti persoalan dengan pandangan yang luas. Visi etika dan visi bisnis Al-Qur’an dengan demikian merupakan kemampuan,kekuatan dan cara pandang yang dimiliki oleh Al-Qur’an dalam memandang persoalan etika dan bisnis. Dari cara pandang Al-Qur’an ini diharapakan akan ditemukan suatu pandangan yang utuh tentang hakikat etika dan bisnis. Apakah Al-Qur’an mempunyai pandangan terpisah antara etika dan bisnis atau sebaliknya mempunyai pandangan yang menyatukan bisnis dan etika.
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya dengan berbagai sebutan al-bayan atau at-tibyan,al-furqon,al-huda,adz-dzikr. sebutan-sebutan ini menjelaskan bahwa fugsi Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagai manusia kejalan yang benar,yang meliputi aqidah yang benar,ahlak yang murni yang harus di ikuti manusia dalam kehidupannya,petunjuk bagi upaya meraih kebahagiaan dunia dan akhirat,membawa kebenaran dan berpihak kepada keadilan,mendorong kepada terjadinya perubahan yang positif.
Etika Al-Qur’an mempunyai sifat humanistik dan rasionalistik.humanistik dalam pengertian mengarahkan manusia pada pencapaian hakikat kemanusiaan yang tertinggi dan tidak bertentangan dengan fitnah manusia itu sendiri. Sebaliknya bersifat rasionalistik bahwa semua pesan-pesan yang di ajarkan Al-Qur’an terhadap manusia sejalan dengan prestasi rasionalitas manusia yang tertuang dalama karya-karya para filosofi.
C.     Panduan Rasulullah SAW dalam Etika Bisnis
Rasululah SAW sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, di antaranya ialah: 
a.       Bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat paling mendasar dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam hal ini, beliau bersabda:“Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. Al-Quzwani). “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R. Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.
b.      Kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
c.       Tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah”. Dalam hadis riwayat Abu Zar, Rasulullah saw mengancam dengan azab yang pedih bagi orang yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan memperdulikannya nanti di hari kiamat (H.R. Muslim). Praktek sumpah palsu dalam kegiatan bisnis saat ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan pembeli, dan pada gilirannya meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun, harus disadari, bahwa meskipun keuntungan yang diperoleh berlimpah, tetapi hasilnya tidak berkah.
d.      Ramah-tamah. Seorang pelaku bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan bisnis. Nabi Muhammad Saw  mengatakan, “Allah merahmati  seseorang yang ramah  dan toleran  dalam berbisnis” (H.R. Bukhari dan Tarmizi).
e.       Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad, “Janganlah kalian melakukan bisnis najsya (seorang pembeli tertentu, berkolusi dengan penjual untuk menaikkan harga, bukan dengan niat untuk membeli, tetapi agar menarik orang lain untuk membeli).
f.       Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (H.R. Muttafaq ‘alaih).






  IV.            KESIMPULAN
Etika adalah ilmu yang berisi patokan-patokan mengenai apa-apa yang benar atau salah,yang baik atau yang buruk, dan bermanfaat atau tidak bermanfaat. Dalam lingkup kajian filsafat, etika menjadi salah satu bagian pembahasan dalam bidang aksiologi. Sedangkan panduan Rasulullah dalam etika bisnis yang perlu diperhatikan dalam berbisnis :
1)      Prinsip essensial dalam bisnis adalah kejujuran
2)      Kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis
3)      Tidak melakukan sumpah palsu
4)      Ramah tamah
5)      Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut
paradigma yang berperspektif al-Quran, yakni paradigma bisnis yang dibangun dan dilandasi oleh aksioma-aksioma berikut ini.
a.       Kesatuan (unity)
b.      Kesetimbangan (keadilan)
c.       Kehendak bebas / Ikhtiyar
d.      Pertanggungjawaban
e.       Kebenaran-kebenaran dan kejujuran


     V.            PENUTUP
Demikian telah selesailah penulisan makalah ini, maka penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini, sesuai dengan kemampuan dan karunia-NYA, serta guna memenuhi tugas Ushul Fiqh dari bapak dosen. Penulis menyadari seoenuhnya, bahwa dalam menyusun makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan yang dari sempurna, namun kami mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita dan pembacanya. Dan apabila ada kesalahan dalam penulisan kami minta maaf.




DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mustaq. Etika Bisnis dalam Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar). 2001.
Fauroni, lukman. Visi Al-Qur’an Tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta: Salemba diniyyah), 2002.
Rahardjo, Dawam. Etika Ekonomi dan Manajemen, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya),1990.
 Alam, Buchori. Pengantar Bisnis, (BandungAlfabeta), 1997.
 Rahardjo, Dawam,Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP,(Jakarta: Prisma), 1995.



[1] Dawam Raharjo,Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP,(Prisma,2 Februari 1995),hlm.2.
[2] Ricard De George,Business Ethics,(New Jersey:Pretince Inc A.Simon and Schuster Company,1990),hlm.3-5.
[3] Buchori Alam,Pengantar Bisnis,(Bandung,Alfabeta,1997),hlm.16.
[4] Lukman Fauroni,Visi Al-Qur’an Tentang Etika Dan Bisnis,(Jakarta,Salemba diniyyah,2002),hlm.10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi Harus Bagaimana